Seolah-olah masing-masing ketua umum mempunyai hak istimewa menjadi capres. Ini parpol sakit, karena semestinya dalam skema presidensil pemimpin partai tidak harus menjadi capres, kecuali sistem kita parlementer,"
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Syamsudin Haris menilai sejumlah partai yang ketua umumnya mendeklarasikan diri sebagai capres mengindikasikan lembaga politiknya "sakit" karena enggan melihat potensi dari luar organisasinya.
"Seolah-olah masing-masing ketua umum mempunyai hak istimewa menjadi capres. Ini parpol sakit, karena semestinya dalam skema presidensil pemimpin partai tidak harus menjadi capres, kecuali sistem kita parlementer," kata Syamsudin Haris dalam sebuha diskusi di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan bahwa rakyat saat ini mencari pemimpin bangsa bukan pemimpin partai politik, sehingga setiap partai politik semestinya melihat dulu potensi pemimpin yang berasal dari luar partai sebelum memutuskan untuk mencalonkan ketua umum masing-masing.
"Jadi konteks partai sakit itu adalah karena lebih mengutamakan kepentingan partai dari pada kepentingan bangsa," kata dia.
Syamsudin menilai saat ini Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan yang terjadi di semua level. Indikasinya, menurut dia, Indonesia saat ini menjadi negara pengimpor segala macam hal.
"Saya kemarin membaca bahwa negara kita adalah pengimpor singkong terbesar dunia. Bayangkan, lahan begini luas, kan kata `Koes Plus` di Indonesia tongkat, kayu, tumbuh menjadi tanaman," kata dia.
Selain itu menurut dia pemimpin politik yang ada saat ini bukan mengabdi terhadap negara namun mengambil yang bukan merupakan haknya. Pada titik itu esensi krisis kepemimpinan yang dialami Indonesia.
"Sehingga wajar kalau kita saksikan unjukrasa yang hampir tiada habisnya. Makna dari tindak kekerasan dan anarki karena tidak ada kepercayaan rakyat kepada lembaga pemerintah, kepada parpol, pemimpin kita, dan terhadap lembaga penegak hukum, sehingga masyarakat mencari solusi sendiri-sendiri," ujar dia.
Dia mengatakan bahwa Pemilu 2014 yang akan datang belum dapat menjanjikan kepemimpinan yang lebih baik sebab secara institusi kerangka hukum yang berkaitan dengan pemilihan presiden, pemilu legislatif dan lain-lain, belum menjanjikan munculnya kepemimpinan yang memiliki integritas, visi, kapabilitas, akseptabilitas dan elektabilitas yang mumpuni.
Menurut Syamsudin salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pembenahan institusional, salah satunya dari sisi undang-undang.
"Bagaimana Undang-undang Pemilu Presiden akan datang bisa menghasilkan pemimpin yang lebih baik, sebab dalam Undang-undang Pemilu Presiden kita itu memberikan cek kosong kepada parpol untuk mengajukan capres. Memang konstitusi mengatakan pencalonan presiden dilakukan parpol atau gabungan parpol, tetapi seharusnya jangan bentuk cek kosong, karena dampaknya sekarang siapa pun capres yang diajukan parpol sekan sudah tidak bisa kita tolak," kata dia.
Syamsudin juga mengusulkan adanya uji publik bagi setiap capres dan cawapres yang akan diusung partai politik.
"Jadi setiap capres dan cawapres harus menjalani uji wawasan dan visi dalam memimpin bangsa. Misal dalam ekonomi visinya apa, kan harus punya, apakah dia akan menaikkan pajak, menghapus pajak atau minyak bumi dijual semua dan seterusnya," kata dia.
(R028/U002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012