Tangerang Selatan (ANTARA) – Dalam upaya melaksanakan program dekarbonisasi sektor energi dan pencapaian target bauran energi baru terbarukan, Indonesia telah memprioritaskan pengembangan teknologi refuse-derived fuels (RDF). RDF merupakan solusi ganda permasalahan pengolahan limbah dan alternatif dekarbonisasi sumber energi untuk pembangkit listrik dan industri, memanfaatkan limbah domestik yang dapat dibakar menjadi sumber panas atau yang kemudian dikonversikan menjadi listrik. Namun, untuk memperbesar skala aplikasi RDF di Indonesia masih diperlukan banyak penyesuaian penerapan di lapangan, seperti identifikasi dan kolaborasi stakeholders dan off-takers, pengembangan skema bisnis RDF yang berkelanjutan, serta pemutakhiran teknologi RDF sehingga reduksi emisi dan energi yang dihasilkan dapat optimal.


Berangkat dari urgensi ini dan percepatan implementasi RDF di Indonesia, proyek RDFact hadir untuk mendukung upaya Pemerintah melalui pelaksanakan serangkaian lokakarya, diskusi kelompok terfokus dan pelatihan, untuk meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan terkait dalam implementasi RDF di Indonesia hingga tahun 2026. Selain itu, RDFact juga turut memberikan asistensi teknis kepada beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia yang memiliki potensi untuk pengembangan teknologi RDF di daerahnya. Proyek ini merupakan kolaborasi Resilience Development Initiative (RDI) dengan University of Queensland, BRIN, dan dengan dukungan Kementerian ESDM RI, dibawah pendanaan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.


Pada kegiatan kick-off dan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan hari ini (14/4) dalam rangka implementasi awal proyek RDFact (Optimization of Refuse-derived Fuels to Decarbonize Energy Sector and Achieve NDCs targets in Indonesia), Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo mengatakan bahwa pengembangan pengelolaan sampah, termasuk waste to energy, hanya dapat dimungkinkan jika ada sinergi positif antara semua pihak, diantaranya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan PT PLN, pengembang, dan masyarakat.


“Limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik PLTU dan dapat diolah menjadi RDF ataupun solid recovered fuel (SRF) yang dapat dimanfaatkan untuk penghijauan PLTU melalui program cofiring biomassa dan sebagai pengganti batubara pada industri terkait lainnya”, ujar Edi.


Ia memaparkan bahwa implementasi program RDF/SRF untuk energi telah dilaksanakan diantaranya melalui program cofiring biomassa/RDF pada PLTU, RDF pada program Citarum Harum, RDF di Cilacap untuk klin semen, TOSS (Tempat Olah Sampah Setempat), Penyusunan Feasibilty Study BED Pemanfaatan Sampah Kota menjadi RDF di beberapa Kota dan Kabupaten, BOSS (Biomass Operation System of Saguling), JOSS (Jeranjang Olah Sampah Setempat), Gerakan Ciliwung Bersih dan Pembangunan Plant RDF.


Hadir secara virtual pada kesempatan yang sama, Direktur Penanganan Sampah, Novrizal Tahar, sebagai pemangku kepentingan vital dalam manajemen pengelolaan sampah menjelaskan tiga garis besar dalam pengelolaan sampah yaitu waste to energy, RDF, dan waste to biogass.


“Jadi paling tidak tiga hal ini dari sampah yang akan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan bauran energi baru terbarukan dan sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dan sekaligus menyelesaikan persoalan sampah. Pada Intinya, Pemerintah dengan skenario jangka panjangnya zero waste emission, RDF teknologi itu menjadi komponen penting dalam skenario besar pengelolaan sampah Indonesia ke depan. Dalam skenario yang kita buat paling tidak 35% di 2050-2060 itu adalah thermal technology, dalam hal ini RDF SRF termasuk waste to electricity”, papar Novrizal.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2023