Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Esoterika Denny JA mengajak masyarakat Indonesia untuk membangkitkan kembali agama akhlak, yakni menjadikan agama sebagai ritus suci yang tercermin dari tata laku hidup yang welas asih.

"Agama meredup sebagai kekuatan akhlak. Akibatnya, riuh rendah ritus agama tidak berlanjut pada perilaku sosial yang sesuai. Mari bangkitkan kembali agama akhlak," ujar Denny JA dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

Pernyataan itu disampaikan Denny menanggapi data yang dikeluarkan PBB melalui Sustainable Development Solution Network yang World Happiness Index.

Denny yang mengutip laporan tersebut mengatakan sebuah negara dikatakan maju tak lagi hanya dilihat kemakmuran ekonominya saja, tetapi justru yang paling penting adalah kebahagiaan warga negaranya.

Baca juga: Pemikiran Denny JA tentang agama warisan kultural dijadikan buku

Berdasarkan World Happiness Index pada 2023, negara ranking pertama yang dianggap paling tinggi indeks kebahagiaan warga negaranya adalah Finlandia. Selain itu, 10 negara yang paling maju tersebut didominasi oleh negara Skandinavia dan Eropa Barat, di antaranya Denmark, Swedia, Norwegia, Swiss, dan Belanda.

Menariknya, kata dia, di negara-negara itu, agama sudah tak lagi dianggap penting oleh masyarakatnya, berdasarkan data Gallup Pol (2008/2009).

"Ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Mengapa di negara yang tak lagi menganggap agama penting justru mampu membuat warganya paling bahagia, makmur, pemerintahannya paling bersih dari korupsi, dan menghormati keberagaman?," ujar Denny JA.

Hal sebaliknya justru terjadi di negara yang 90 persen populasinya menganggap agama sangat penting, yakni Indonesia dengan mayoritas Islam, India (Hindu), Thailand (Buddha), dan Brasil (Katolik).

Berdasarkan World Happiness Index, Indonesia hanya di ranking 80, India 136, Thailand 53, dan Brazil 34.

Baca juga: Toleransi ala Habib Ja'far; Mengguyonkan agama tanpa ketersinggungan

"Di negara yang menganggap agama minta ampun pentingnya, tetapi justru tak mampu membuat warga negaranya paling bahagia, pemerintahan yang bersih dan sebagainya. Apa salahnya?", kata dia.

Dia menyebut ada dua faktor yang bekerja saat ini yang menjadi penyebabnya. Pertama, berubahnya driving force peradaban dari agama ke ilmu pengetahuan dam manajemen modern.

Sehingga, untuk maju, makmur, dan mampu membuat warga negara bahagia tergantung dari kemampuan negara itu dalam mengelola ilmu pengetahuan dan manajemen modern, bukan oleh intensitas beragama.

"Suka atau tidak, inilah realitas yang ada. Driving force peradaban utama sudah tak lagi di tangan hidup beragama," katanya

Kedua, agama meredup sebagai kekuatan akhlak. Semakin terlihat ada kesenjangan antara doktrin agama dan peradaban yang dihasilkannya, ada jurang menganga antara keriuhan ritus agama dengan perilaku sosial penganutnya.

Baca juga: Politikus sebut konflik di masyarakat terjadi bukan karena agama

Untuk itu, ia mendorong agar kehangatan cinta dan indahnya kekudusan alam perlu untuk dihayati batin manusia. Oleh karena itu, harta yang terpendam dalam samudra agama tetap berharga untuk terus digali.

"Merenungkan Paskah dan Ramadhan, saatnya kembali kita bangkitkan kekuatan compassion, kekuatan akhlak di setiap agama," katanya.

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023