Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga 2004-2009 Adhyaksa Dault menjelaskan proses pengadaan lahan untuk proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang Jawa Barat.
"Pada 18 Oktober 2005, saya mendapatkan aset negara dari Dirjen Olahraga, termasuk di dalamnya tanah Sentul yang di dalamnya termasuk masjid dan bangunan," kata Adhyaksa Dault setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi sekitar 7 jam, Selasa.
Ia mengaku tidak tahu mengapa tanah di Hambalang yang dipilih sebagai lahan untuk sekolah atlet.
"Saya tidak tahu mengapa tanah Hambalang yang dipilih, tapi dijelaskan karena tanahnya tinggi, bagus untuk "VO2 max" (konsumsi oksigen maksimal) jadi bagus untuk sekolah atlet," jelas Adhyaksa.
Namun saat ia menerima aset di Hambalang tersebut pada 18 Oktober 2005, Adhyaksa memerintahkan untuk menghentikan pembangunan proyek tersebut karena sertifikatnya tidak ada.
"Dilaporkan kepada saya bahwa Pak Probosutedjo tidak mau melepaskan tanahnya, yang saya tahu Hak Guna Usaha Probosutedjo pada 2002 sudah mati, jadi itu menjadi tanah negara," tambah Adhyaksa.
Dalam masa jabatannya, Adhyaksa mengaku bahwa anggaran pembangunan P3SON Hambalang senilai Rp125 miliar "dibintangi" oleh DPR, artinya belum dapat dicairkan; meski belakangan anggaran pembangunan proyek Hambalang membengkak hingga Rp2,5 triliun pada 2010, setelah Adhyaksa tidak lagi menjabat sebagai Menpora.
"Pada masa saya pada 2009 hanya dianggarkan Rp125 miliar, namun dibintangi dan tidak boleh dicairkan selama sertifikatnya belum terbit jadi tidak sepersen pun yang cair dan tidak ada satu bangunan pun yang dibangun selama saya menjadi menpora," ungkap Adhyaksa.
Menurut dia, rancangan awal pembangunan proyek P3SON adalah beradasarkan "masterplan" tahun 2006.
"Yang saya arahkan hanya untuk dua lantai ke atas dan dua lantai ke bawah mengingat struktur tanahnya," tambah Adhyaksa.
Pengguna lahan sebelumnya adalah PT Buana Estate milik Probosutedjo mengeluarkan surat pernyataan mengenai kesediaan bahwa lahan Hambalang digunakan Kemenpora pada November 2009.
Namun hasil audit investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek Hambalang menemukan adanya surat pelepasan hak atas tanah tersebut diduga dipalsukan oleh pihak-pihak terkait di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Terkait pengurusan sertifikat kepemilikan tanah proyek Hambalang tersebut, anggota DPR asal fraksi Partai Demokrat Ignatius Mulyono juga mengaku bertemu dengan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum di ruang Fraksi Demokrat di Senayan pada Desember 2009 dan diminta mengurus kepada Joyo soal sertifikat Hambalang yang belum selesai.
Ia mengaku tidak terlibat kasus Hambalang dan hanya dimintai tolong oleh Anas kepada kepala BPN Joyo Winoto.
Pada Senin (17/12), Sestama sekaligus pejabat pelaksana Deputi II BPN pada masa pembangunan proyek Hambalang, Managam Manurung setelah diperiksa KPK mengakui bahwa ia pernah ditelepon oleh Ignatius Mulyono pada Desember 2009.
"Pak Igantius pernah menelpon saya, tapi proses (sertifikat) itu sudah hampir selesai, tanpa telepon Pak Ignatius pun berkas itu sudah selesai karena pada 6 Januari 2010 sudah selesai, saya ditelepon pada Desember 2009," ungkap Managam.
Pada proyek tersebut, KPK telah menetapkan dua tersangka yaitu Mantan Menpora Andi Mallarangeng dan mantan Kabiro Perencanaan Kemenpora selaku Pejabat Pembuat Komitmen saat proyek Hambalang dilaksanakan.
Keduanya disangkakan pasal Pasal 2 ayat 1, pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara; sedangkan pasal 3 mengenai perbuatan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara.
(D017)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012