JAKARTA (ANTARA) - Jika ingin bepergian dengan dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah, maka mudik adalah pilihan jenis perjalanan ini. Pada masa mudik sarana jalan dan tol yang diperbagus, posko-posko keamanan dengan ribuan aparat disiagakan, tawaran angkutan transportasi gratis, serta suasana semarak dan bertabur promo di mana-mana.

Setelah tiga tahun ada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat pandemi COVID-19, aktivitas mudik Lebaran 2023 kali ini diyakini akan menjadi ajang “balas dendam” bagi warga yang rindu kampung halaman. Kementerian Perhubungan memperkirakan sebanyak 123,8 juta orang bakal bertandang ke kampung halamannya pada momen Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah. Angka ini naik 44 persen dari tahun 2022 yang sejumlah 86 juta pemudik.

Mengingat jumlah pemudik yang sedemikian besar, hampir separuh penduduk Indonesia, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti seluruh pemangku kepentingan termasuk para kepala daerah agar menyiapkan penyelenggaraan mudik dengan matang.

“Hati-hati, angka ini hati-hati. Saya sudah memperingatkan Menteri Perhubungan, Kapolri, Menteri BUMN yang menyangkut transportasi laut, para gubernur, para bupati dan wali kota betul-betul menyiapkan diri. Karena (jumlah pemudik) melompat dari 86 juta ke 123 sampai 124 juta,” pesan presiden.

Untuk meringankan beban biaya transportasi masyarakat, dari tahun ke tahun Kementerian Perhubungan menyelenggarakan program mudik gratis baik dengan moda kereta api yang mana pemudik bisa membawa serta sepeda motornya (KA Motis), juga fasilitas perjalanan laut dengan menggunakan kapal.

Selain itu, sejumlah kementerian dan BUMN juga menyelenggarakan mudik gratis yang umumnya menggunakan armada bus.

Tak mau kalah dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah pun berbondong-bondong membuat program serupa, mudik gratis yang diperuntukkan bagi para warganya yang merantau di kota-kota besar. Armada bus juga menjadi andalan pemda untuk menjemput pulang para perantau menuju kampung kelahiran.

Fasilitas moda transportasi mudik gratis juga banyak ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan swasta dengan semangat menebar kebaikan sekaligus menyalurkan anggaran tanggung jawab sosial perusahaan seraya “beriklan” di tengah keramaian khalayak.

Jadi, jenis perjalanan (traveling) dengan berlimpah fasilitas gratis itu adalah mudik, yakni mudik di saat libur hari raya, khususnya Lebaran.

Mudik sebagai kemestian

Munculnya istilah mudik konon berasal dari kata Mulih Dilik (pulang sebentar) yang kemudian sedikit berubah menjadi Mulih Udik (pulang kampung). Tradisi ini di Tanah Air bermula beberapa tahun setelah kemerdekaan. Jakarta yang menjadi ibu kota negara berkembang lebih pesat dari kota-kota lain sehingga menjadi magnet bagi masyarakat di daerah untuk merantau dan mengadu nasib di sana.

Setahun sekali, baik pemerintah maupun perusahaan swasta memberi waktu libur panjang atau cuti pada saat perayaan Lebaran atau Idul Fitri. Kesempatan itu mendorong para perantau memanfaatkannya untuk pulang ke kampung halaman menengok orang tua dan sanak keluarga.

Istilah mudik mulai populer di tahun 1970-an, ketika Jakarta menjadi satu-satunya kota besar yang menawarkan banyak peluang pekerjaan dan bidang usaha untuk memperbaiki pendapatan. Setelah satu tahun bekerja mengumpulkan pundi-pundi rezeki, para pekerja yang berasal dari daerah menggunakan momen Lebaran untuk mudik dengan membawa hasil jerih payahnya guna berbagi kepada keluarga. Dari kebiasaan itu, ritual mudik terus berkembang hingga sekarang yang seolah menjadi sebuah kemestian.

Tidak hanya di Indonesia, pergerakan manusia secara kolosal dari kota ke desa dalam rangka mudik juga terjadi di berbagai negara. Yang terdekat di negeri jiran Malaysia, tradisi Balik Kampung menjelang perayaan Idul Fitri juga berlangsung di sana. Sedangkan Idul Fitri di Turki dikenal dengan istilah Bayram, saat berjumpa sesama muslim warga saling mengucapkan selamat Hari Raya Bayram dalam bahasa mereka.

Arab Saudi yang memiliki Ka’bah sebagai situs paling suci bagi umat Islam, tentu perayaan Hari Kemenangan selalu meriah di tanah kelahiran Rasulullah Muhammad SAW itu. Berbagai festival digelar dan rumah-rumah warga didekorasi untuk menyambut kedatangan anggota keluarga dari perantauan.

Selanjutnya di India, Pakistan, dan Bangladesh, kehebohan arus mudik juga terjadi setiap Lebaran. Namun di India, kegiatan mudik dalam Festival Diwali sama meriahnya dengan perayaan Lebaran di negara-negara Islam.

Sementara di China, negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa, memiliki tradisi mudik menjelang perayaan tahun baru Imlek dan saat Hari Raya Idul Fitri. Di Negeri Panda itu, Lebaran dirayakan oleh sekitar 18 juta pemeluk Islam yang berada di Daerah Otonom Xinjiang dan Provinsi Yunnan.

Bukan adu gengsi

Ada sejumlah alasan mengapa masyarakat terus melestarikan tradisi mudik. Tujuan utamanya adalah menjalin silaturahmi kepada orang tua, kerabat, dan tetangga seraya berbagi sedikit rezeki hasil kerja di perantauan kepada saudara di kampung. Bagi perantau, mudik juga sebagai pengingat asal-usul daerah kelahiran. Sedangkan perjalanan mudik bisa menjadi terapi psikologis dengan memanfaatkan libur Lebaran dengan berwisata.

Di luar semua tujuan itu, Mulih Udik kerap menjadi ajang menunjukkan eksistensi keberhasilan merantau di kota. Alasan terakhir inilah yang membuat banyak orang mengerahkan segenap upaya untuk membawa pulang harta bendanya, meski amat merepotkan, demi membangun gengsi di tempat tujuan. Ketika para perantau berikut anggota keluarganya di kampung memiliki motivasi yang sama, maka Lebaran menjadi momen adu gengsi antartetangga di desa.

Kegiatan saling kunjung ke rumah tetangga bukan sekadar silaturahmi, melainkan sembari menyelidiki capaian apa saja yang telah diperoleh mereka yang tiba dari kota. Dahaga keingintahuan tetangga pun disambut dengan pamer prestasi dalam pengumpulan rezeki yang dimanifestasikan berupa barang-barang mewah baik yang dikenakan di badan, dipajang di rumah atau pengisi garasi. Kerasnya perlombaan unjuk harta akhirnya malah menodai niat mulia mudik, yaitu silaturahmi.

Oleh karena itu, sebelum datangnya hari raya, masih ada waktu untuk beristighfar, memperbaiki niat, dan mengembalikan hakikat tujuan mudik, agar perjalanan jauh yang telah susah payah ditempuh dapat berbuah ibadah.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023