Ketika mereka membuat keputusan mereka menunjuk pada potret di dinding, yang berarti bahwa perintah tersebut tak terbantahkan."

Beirut (ANTARA News) - Wakil Presiden Faruq al-Sharaa mengatakan dalam komentar yang dipublikasikan Senin bahwa dia lebih suka penyelesaian yang dirundingkan atas konflik Suriah daripada strategi presiden menghancurkan pemberontakan secara militer.


Sharaa, dalam sebuah wawancara yang dilangsungkan minggu lalu di kantornya di Damaskus namun diterbitkan Senin oleh surat kabar Lebanon pro-Suriah Al-Akhbar, mengatakan bahwa ketidaksepakatan mengenai kebijakan seperti itu kini telah mencapai tataran tertinggi kekuasaan, lapor AFP.


"Mereka yang mempunyai kesempatan untuk bertemu presiden akan mendengar dari mulutnya bahwa ini menjamin konflik berkepanjangan, yang pada dasarnya sebuah konspirasi besar yang direncanakan oleh sejumlah pihak," kata Sharaa.


"Dia (Presiden Bashar al-Assad) tidak menyembunyikan keinginannya untuk maju secara militer sampai kemenangan akhir (dan dia yakin bahwa) setelah ini, dialog politik sebenarnya masih mungkin."


Namun Sharaa, pejabat Muslim Sunni paling menonjol dalam rezim Assad yang didominasi minoritas Alawite, mengatakan dia lebih menyukai kompromi.


"Tidak ada oposisi yang dapat mengakhiri pertempuran secara militer, sama halnya pasukan keamanan dan angkatan darat tidak dapat mencapai pengakhiran yang menentukan," katanya, menyerukan sebuah "penyelesaian historis" antara pihak-pihak yang berperang dan didukung oleh negara-negara kawasan utama dan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB.


Sharaa menekankan bahwa "berbagai kekuatan oposisi -- apakah bersenjata atau pun sipil, atau terkait dengan kekuatan-kekuatan asing -- tidak dapat mengklaim mereka wakil tunggal sah rakyat Suriah."


Di lain pihak, "kekuatan yang memerintah saat ini ... tidak dapat menciptakan perubahan sendiri tanpa mitra baru," tambah pejabat veteran itu, yang bertugas selama 22 tahun sebagai menteri luar negeri Suriah.


"Assad memiliki segala kekuasaan di negara ini ... namun terdapat pendapat dan pandangan berbeda dalam kepemimpinan Suriah. Namun, tidak pada titik dimana kami dapat berbicara tentang arus politik berbeda atau perpecahan mendalam," ungkapnya.


Ini yang pertama kalinya bahwa seorang pemimpin senior Suriah mengungkapkan pendapat yang tidak sejalan dengan pemimpin negara.


Dalam sebuah negara otokratis seperti Suriah, seorang pejabat musti memiliki dukungan substansial rezim untuk menyatakan diri secara begitu terus terang.


Pada Oktober, Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu menyarankan bahwa Sharaa akan menjadi pilihan yang cocok untuk memimpin pemerintahan transisi di Suriah, menyebutnya "manusia berpikiran" yang dapat menghentikan perang saudara di negara itu.


Sharaa, 74, telah mengabdi rezim selama puluhan tahun, baik di bawah Assad maupun ayahnya dan pendahulunya Hafez al-Assad, tetapi baru muncul di depan publik hanya beberapa kali sejak pemberontakan pecah Maret tahun lalu.


Terbelah antara loyalitasnya kepada rezim dan tempat kelahirannya di provinsi selatan Daraa tempat para pengunjuk rasa pertama turun ke jalan-jalan, dia mengusulkan untuk bertindak sebagai perantara di awal-awal pemberontakan tersebut.


Dalam upaya untuk mengakhiri pertumpahan darah pada Juli 2011, dia mengetuai dialog nasional atas nama pemerintah, tetapi dengan cepat mati dengan dimulainya penumpasan sengit.


"Setiap hari berlalu, kami bergerak menjauh dari solusi militer atau pun politis. Kami harus memposisikan diri guna mempertahankan keberadaan Suriah -- kami tidak berperang demi individu atau rezim," kata Sharaa.


Namun dia menambahkan bahwa sejumlah pemimpin Suriah mengklaim bekerja menurut petunjuk.


"Ketika mereka membuat keputusan mereka menunjuk pada potret di dinding, yang berarti bahwa perintah tersebut tak terbantahkan," katanya, menunjuk pada gambar Assad yang ada dimana mana tergantung di semua tembok kantor pemerintah. (K004)

Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012