... Indonesia berpotensi untuk mengurangi 40 persen residu gas rumah kaca

Jakarta (ANTARA) - Southeast Asia Director of ITDP (Institute for Transportation and Development Policy) Faela Sufa, dalam sebuah diskusi virtual pada Jumat (14/4), mengungkapkan bahwa Pemerintah harus membuat peraturan secermat mungkin untuk dapat menjawab berbagai persoalan yang timbul atas kebutuhan transportasi di masyarakat terkait dengan kebijakan pengembangan transisi kendaraan listrik.

Penggunaan kendaraan listrik untuk transportasi massal merupakan hal penting dengan tetap memperhatikan praktik keberlanjutan bagi lingkungan.

“Hendaknya Pemerintah jangan hanya berfokus pada kepentingan kendaraan listrik pribadi, namun harus memperhatikan kepentingan infrastruktur publik yang harus ditingkatkan. Beberapa di antaranya adalah masalah minimnya permodalan pada infrastruktur publik dan pemberian insentif yang belum tepat sasaran,” ungkap Faela.

Mobilitas penduduk di daerah ibu kota yang sangat tinggi pada masa kenormalan baru harus diimbangi dengan penyediaan transportasi publik yang mudah diakses.

Saat ini adalah momen yang tepat jika komitmen pemerintah dalam penyediaan ekosistem elektrifikasi dapat menyasar pada transportasi massal. Contohnya, dengan memperbesar insentif untuk pembenahan dan perbaikan bagi kendaraan umum listrik dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan pengguna, keterjangkauan harga, serta inklusif.

Pengurangan emisi karbon dan kemacetan dapat teratasi dengan penataan kota yang terpadu (compact city) yang memungkinkan perjalanan warga menjadi lebih pendek dan tidak bergantung pada kendaraan bermotor pribadi.

Saat ini tantangan di lapangan untuk adopsi bus listrik masih ditemukan, di antaranya biaya investasi yang cukup tinggi, kebijakan publik yang berubah-ubah sehingga menciptakan resistensi dari pihak lembaga keuangan selaku pemilik modal.

“Jika penggunaan bus elektrik pada 2030 bisa dimaksimalkan hingga 90 persen di skala nasional, maka Indonesia berpotensi untuk mengurangi 40 persen residu gas rumah kaca (GRK). Maka dari itu, elektrifikasi pada bus harus diprioritaskan,” katanya.


Regulasi dan keberlanjutan

Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebanyak 33.810 kendaraan listrik aktif digunakan di penjuru negeri hingga November 2022. Hal ini merupakan sinyal baik yang mengarah pada potensi penggunaan kendaraan listrik yang lebih masif untuk publik di masa mendatang.

Akan tetapi, perjalanan masih panjang untuk mencapai 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik pada 2030 mendatang. Maka, regulasi terkait kendaraan listrik terutama proporsi kendaraan listrik milik pribadi dan umum, penyediaan infrastruktur pengisian daya kendaraan listrik listrik, dan penggunaan kendaraan pengangkut berkapasitas besar seperti truk dan bus, menjadi beberapa hal yang perlu dicermati.

Menyikapi hal tersebut, Associate Researcher The International Council on Clean Transportation (ICCT) Tenny Kristiana mengatakan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak tertinggal jauh dalam hal pengembangan kendaraan listrik di lima negara ASEAN.

“Subsidi atau insentif pajak sudah ada, target untuk special fleet, misalnya, Transjakarta full electric 2030 juga ada, hingga adanya pengembangan industri kendaraan listrik di manufacturing. Ditambah adanya dukungan internasional untuk elektrifikasi,” jelasnya.

Meski demikian, satu hal yang perlu dicatat, kata Tenny, adalah kemampuan negara lain seperti Thailand yang memiliki target produksi dan penjualan kendaraan listrik. Indonesia sudah mengarah ke titik itu karena Kementerian Perindustrian juga mengeluarkan target 20 persen dari total penjualan kendaraan mobil penumpang di tahun 2025.

Berdasarkan kajian ICCT, kendaraan listrik memiliki keunggulan tidak hanya emisi karbonnya yang rendah dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil, juga dengan tidak adanya gas buang dari knalpot. Hal ini menjadi sangat penting karena ini memberikan dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Tenny menambahkan guna mengurangi dampak lingkungan di sektor hilir, konsep penggunaan ulang baterai bisa menjadi salah satu solusi. Studi terbaru ICCT menemukan bahwa menggunakan kembali 50 persen baterai yang sudah habis masa pakai untuk penyimpanan energi bisa menyediakan kapasitas 86 GWh pada 2030, lalu 3,000 GWh pada 2040, hingga 12,000 GWh pada 2050.

“Alhasil, kebutuhan penambangan nikel, cobalt, lithium, dan juga manganese bisa berkurang,” jelasnya.


Mitra Pemerintah

Sebagai mitra strategis Pemerintah, Wakil Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya Setyaka Dillon mengharapkan adanya reformasi terkait kebijakan tata kelola transportasi perkotaan. Ia berpendapat bahwa fokus kebijakan Pemerintah ke depan tak hanya memprioritaskan manfaat kendaraan listrik untuk pribadi, namun juga untuk kebutuhan publik secara umum dengan mengedepankan inovasi ke transportasi berkelanjutan yang didukung dengan kemajuan teknologi.

“Elektrifikasi kendaraan harus masuk ke dalam agenda RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sehingga upaya dari semua sektor saling tersinkronisasi dan terhubung agar pembangunan ekonomi menjadi lebih nyata,” jelas Harya.

Selain itu kata dia, mesti ada fokus terhadap kendaraan bus listrik yang manfaatnya kepada lingkungan terbukti lebih besar dan menghindari kepadatan kendaraan di jalan. Di lain sisi, Pemerintah perlu kembali mengencangkan skema insentif sehingga kendaraan berbahan bakar fosil bisa segera dipensiunkan.

“Terakhir, pengolahan limbah baterai dari mobil bekas agar bisa dipergunakan kembali untuk energi terbarukan, sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan,” tutup Harya.


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023