Surabaya (ANTARA) - Sesungguhnya, perbedaan awal Ramadhan dan awal Lebaran Idul Fitri itu bukan hal baru, bahkan Muhammadiyah dan NU sudah sejak dulu terbiasa berbeda dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
Dengan rujukan hadits yang shahih (HR Bukhari-Muslim), NU merujuk hadits tentang "rukyatul hilal" dan Muhammadiyah merujuk hadits tentang "ummi" terkait pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa umatku ummi/bodoh. Sekarang, umat Muhammad SAW sudah pintar/berteknologi.
Bahkan, perbedaan Muhammadiyah dan NU bukan hanya soal Ramadhan atau Lebaran, tapi juga soal qunut, niat shalat, rakaat shalat tarawih, sholawat, tradisi kultur (tahlil, selamatan/ kenduri, dibaiyah, barzanji), maulid nabi, hingga madzhab dan "khilafiyah" (perbedaan yang tidak pokok/cabang) lainnya.
Namun, kini ada saja yang suka menyalahkan dengan mencari-cari dalil atau bahkan membenturkan perbedaan keduanya (NU-Muhammadiyah) lewat dunia maya (halaman 73 buku "Kesalehan Digital", CV Penerbit Campustaka, 2023, Gramedia Group).
Ya, perbedaan awal Ramadhan/Idul Fitri di zaman digital bisa gaduh, karena kepentingan viralisasi di zaman digital itu memang memicu kericuhan tanpa argumentasi shahih/akurat, kecuali argumentasi viral yang menunggangi kepanikan untuk kepentingan pragmatis.
Sejak H-10 Lebaran sudah banyak beredar di medsos, ungkapan yang sok logis dengan argumentasi teknologi yang dibalut dalil untuk mendukung atau membenturkan kelompok X dengan kelompok lain terkait penentuan Lebaran 2023. Padahal, Muhammadiyah sudah lama menggunakan Hisab dan NU pun sudah lama juga menggunakan Rukyatul Hilal.
Secara rukyatul hilal (metode NU), Idul Fitri 1444 H diperkirakan tidak bersamaan, karena ketinggian hilal pada tanggal 29 Ramadhan 1444 H, meskipun sudah di atas ufuk saat matahari terbenam, tetapi masih di bawah kriteria minimum imkanur rukyah (visibilitas) atau kemungkinan hilal terlihat yaitu 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Ketua Lembaga Falakiyyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sirril Wafa menyampaikan bahwa perbedaan penetapan awal bulan, baik Ramadhan ataupun Idul Fitri, harusnya disikapi dengan saling memahami satu sama lain. Kesalingpahaman ini bisa tumbuh dengan mengetahui akar perbedaannya.
Hal itu karena perbedaan di Indonesia seperti ini sudah berkali berulang dan menjadi tidak asing lagi bagi umat Islam. Maka, saatnya masing-masing anggota kelompok yang berbeda memahami akar perbedaannya, dan tidak ambil sikap apriori, namun bisa saling memahami (Jakarta/NUO/13/4/2023).
Ia menambahkan data bulan tanggal 29 Ramadhan 1444 Hijriah atau 20 April 2023 berdasarkan markaz Jakarta menunjukkan ketinggian hilal masih berada pada 1 derajat 55 menit 43 detik dan elongasi 3 derajat 18 menit 23 detik dengan waktu hilal berlangsung selama 9 menit 29 detik. Sementara ijtimak terjadi pada Kamis Legi, 20 April 2023 pada pukul 11.16.38 WIB.
Tontonan Zaman Digital
Beragama di Zaman Digital memang tidak sesederhana zaman manual. Ketua Lakpesdam PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menegaskan bahwa pembicaraan tentang agama atau Qur'an di Zaman Digital itu memiliki tantangan tersendiri, karena pembicaraan bukan di ruang vacum, namun berada di ruang tontonan yang bersifat men-dunia.
"Itu karena pembicaraan yang direkam dan diunggah di media digital akan dikonsumsi publik yang beragam. Kita bisa menjadi tontonan di dunia digital," katanya saat berbicara dalam peringatan Nuzulul Qur'an di kampus Unusa Surabaya (13/4/2023).
Ya, tantangan Muslim sekarang agak berat, karena apa yang dibicarakan akan menjadi konsumsi jutaan audiensi yang bukan hanya muslim, tapi non-muslim dan bahkan orang tak beragama.
Apalagi, Gus Ulil menilai dunia digital didominasi budaya barat yang mencurigai agama atau tidak percaya Tuhan, karena ilmuwan Barat sejak Teori Evolusi dipercaya pada tahun 1850-an sudah mempercayai alam berjalan sesuai hukum alam, bukan hukum Tuhan, meski proses penciptaan udara dan air itu pun sulit secara logika.
Oleh karena itu, lembaga agama atau lembaga pendidikan seperti Unusa hendaknya melakukan pengajaran agama dan Al Qur'an secara "bil hikmah" (nasehat dengan kebijakan), atau menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, termasuk lingkungan era digital saat ini, agar agama atau Al Qur'an tidak justru disudutkan atau menjadi tertuduh.
"Contohnya tokoh agama Budha Dalai Lama yang menyambut kunjungan anak kecil dengan menjulurkan lidahnya yang sebenarnya hal itu gaya yang biasa dilakukan kepada siapapun, tapi karena diunggah di medsos, maka viral dan dia justru dituduh macam-macam," katanya.
Di era digital ceramah atau tausiyah mudah direkam dan disebarkan kepada siapa saja. Jika apa yang disampaikan kemudian menyinggung kelompok lain atau agama tertentu, akan menjadi persoalan. Karena itu, dalam menyampaikan dan mengajak dalam kebaikan harus mengandung bujukan, bil hikmah, tidak dengan memerintah.
Ya, menjadi tantangan Muslim saat ini adalah menjadi tontonan yang mudah dilihat banyak orang. "Di era lama, kita berbicara atau berpendapat itu tidak banyak orang tahu, tapi zaman digital sekarang sebagai orang beragama kita perlu hati-hati, karena mudah menjadi tontonan dan diawasi," kata Gus Ulil.
Untuk itu, saran menarik dalam buku "Kesalehan Digital" (CV Penerbit Campustaka, 2023) merumuskan tiga cara "saleh" menerima informasi digital, yakni ada Sanad (narasumber/narasumber kompeten), Matan (Konten/isi yang ada Tabayyun/klarifikasi, Adil/objektif, Ukhuwah/bijak), dan ada Rawi (Penyampai/Media yang terverifikasi Dewan Pers/KemenkumHAM, bukan abal-abal).
Bila informasi digital diterima dengan tiga saran itu (Sanad, Matan, Rawi), maka "inSya-Allah" akan selamat dari jebakan digital, di antaranya selamat dari jebakan tertipu menjadi radikal secara keilmuan yang tanpa guru, atau jebakan tertipu penjahat siber seperti pinjol, aplikasi ilegal (APK), atau jebakan hoaks video-foto-narasi-AI, dan jebakan lainnya yang tercatat ada 12 jebakan digital dalam buku itu.
Copyright © ANTARA 2023