mengingatkan semua pihak untuk menghargai harkat dan martabat ABHJakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengingatkan semua pihak agar tidak menyebar maupun mempublikasikan identitas anak berhadapan dengan hukum (ABH) menyusul terpublikasikannya identitas ABH dan menjadi perbincangan di beberapa kanal media.
"Kami sangat menyayangkan tersebarnya foto dan identitas ABH di media sosial yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak yang terlibat, khususnya bagi ABH itu sendiri," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dalam keterangan, di Jakarta, Jumat.
Nahar juga meminta semua pihak agar mematuhi asas praduga tak bersalah.
Nahar mengimbau semua pihak agar menahan diri untuk tidak mempublikasikan identitas ABH dan mematuhi Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menegaskan bahwa identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
Baca juga: Kemenkumham sorot pencurian dan narkoba terkait perilaku kriminal anak
Baca juga: Ketua DPD RI minta perlindungan terhadap anak dijalankan serius
Adapun pasal tersebut menjelaskan identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
“Pada pasal 19 UU SPPA menegaskan bahwa kita semua patut melindungi identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi dimana dalam hal ini disebut dengan ABH. Kami mengimbau dan mengingatkan semua pihak untuk menghargai harkat dan martabat ABH, tidak memberikan stigma dan label tertentu kepada anak dengan tidak menyebarkan dan mempublikasikan video dan foto yang memperlihatkan wajah, nama, dan identitas lain ABH dengan jelas,” kata Nahar.
Di samping merendahkan harkat dan martabat ABH, pemberian stigma dan label tertentu dapat mengancam masa depan anak, serta selanjutnya pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dapat dikenakan sanksi pidana dalam pasal 97 UU SPPA dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak sebesar Rp500 juta.
Nahar mendorong kepada semua pihak untuk selalu menghormati, melindungi dan memenuhi hak anak.
Baca juga: Forum SPPA Yogyakarta kawal pemenuhan hak anak berhadapan hukum
Adapun pasal tersebut menjelaskan identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
“Pada pasal 19 UU SPPA menegaskan bahwa kita semua patut melindungi identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi dimana dalam hal ini disebut dengan ABH. Kami mengimbau dan mengingatkan semua pihak untuk menghargai harkat dan martabat ABH, tidak memberikan stigma dan label tertentu kepada anak dengan tidak menyebarkan dan mempublikasikan video dan foto yang memperlihatkan wajah, nama, dan identitas lain ABH dengan jelas,” kata Nahar.
Di samping merendahkan harkat dan martabat ABH, pemberian stigma dan label tertentu dapat mengancam masa depan anak, serta selanjutnya pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dapat dikenakan sanksi pidana dalam pasal 97 UU SPPA dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak sebesar Rp500 juta.
Nahar mendorong kepada semua pihak untuk selalu menghormati, melindungi dan memenuhi hak anak.
Baca juga: Forum SPPA Yogyakarta kawal pemenuhan hak anak berhadapan hukum
Baca juga: Menteri Bintang: Selter anak komitmen Pemkot Surabaya lindungi anak
Baca juga: Psikolog: Anak terlibat kasus hukum tetap perlu dilindungi
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023