"Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan praktik konservasi dan tidak lagi bisa mengimbangi ancaman kerusakan pada hutan beserta keberadaan biodiversitas," kata Juru Bicara Pokja Konservasi Adrianus Eryan dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Pokja Konservasi menyampaikan bahwa jumlah kejahatan terhadap satwa liar kini meningkat 5 sampai 7 persen per tahun.
Baca juga: DPR dorong partisipasi publik dalam penyempurnaan RUU KSDAHE
Baca juga: DPR ingin pembangunan ekonomi selaras dengan pelestarian biodiversitas
Regulasi konservasi yang kini telah berusia lebih dari tiga dekade memberikan ancaman hukuman yang rendah. Kondisi itu membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tidak lagi mampu menjawab permasalahan tersebut.
Selain kebutuhan pengaturan mengenai perlindungan keanekaragaman hayati serta penegakan hukum untuk menciptakan efek jera, langkah pencegahan lainnya juga dibutuhkan seperti pendekatan peningkatan sosial-ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan.
Kepada DPR RI, Pokja Konservasi menyampaikan enam fokus isu terkait RUU KSDAHE mulai dari perlindungan ekosistem, perlindungan spesies, perlindungan genetik, medik konservasi, penegakan hukum, dan pendanaan konservasi.
"Pelibatan semua pihak sangat penting bagi pelaksanaan konservasi di tingkat ekosistem, spesies, dan genetik. (Konservasi) tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah," kata Adrianus.
Dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tahun 2022 lalu, rancangan undang-undang tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem telah ditetapkan menjadi rancangan undang-undang usulan inisiatif DPR.
Bahkan, pemerintah juga telah menyampaikan daftar inventarisasi masalah rancangan undang-undang tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem tersebut pada 31 Oktober 2022.
Baca juga: Ahli konservasi IPB apresiasi komitmen DPR bahas RUU KSDAE
Baca juga: Unpad: Pemberitaan tentang regulasi konservasi perlu ditingkatkan
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023