Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menegaskan pentingnya komunitas internasional untuk menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
Menurut dia, prinsip yang dipandang penting dalam Piagam PBB terkait penyelesaian isu Palestina adalah menghormati batas-batas negara dan kesetaraan martabat manusia sehingga satu bangsa tak boleh menundukkan bangsa lain.
“Ini adalah prinsip-prinsip yang kami (NU) ingin terus majukan. Kalau kita bisa meyakinkan semua pihak tentang pentingnya prinsip-prinsip (Piagam PBB) ini maka akan menjadi jalan menuju solusi,” kata pria yang karib disapa Gus Yahya itu, dalam dialog Israel-Palestina yang diselenggarakan PBNU dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) secara daring, Kamis.
Yahya mengatakan langkah terpenting dalam menyelesaikan isu Palestina adalah meyakinkan pihak-pihak terkait bahwa “solusi itu mungkin”.
Yahya melihat saat ini semakin sedikit orang yang percaya masalah Israel dan Palestina terselesaikan mengingat banyak pihak hanya berbicara tetapi tidak sungguh-sungguh mengusahakan solusi damai.
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, kata Gus Yahya, NU berupaya menawarkan pandangan yang memberikan sumbangsih untuk pencapaian solusi.
“Pertama, kami berusaha memahami isu ini … bahwa isu Palestina adalah masalah kemanusiaan dalam peradaban global. Melalui diskusi panjang yang sulit dan menyakitkan, kami mencapai kesimpulan bahwa masalah ini terkait dengan munculnya konstruksi peradaban baru, yaitu tatanan internasional, setelah sejarah panjang konflik dan perang,” ujar dia.
Baca juga: Paus doakan perdamaian Ukraina dan kecam kekerasan di Timur Tengah
Dia menunjuk sejarah Israel dan Palestina, juga negara-negara lain di Timur Tengah, yang mulanya menyatu dalam Kesultanan Utsmaniyah.
Konflik Israel-Palestina berawal setelah berdirinya negara Israel pada 1948. Kala itu, warga Palestina keberatan dan mencegah terbentuknya negara Israel sampai terjadi perang.
Pasca perang berakhir, Israel ternyata sudah menguasai sebagian besar wilayah bekas kekuasaan Inggris termasuk Yerusalem, sedangkan Mesir menguasai Gaza.
Sementara itu menurut PBB, setengah populasi Arab Palestina diusir dan sebagian lagi melarikan diri.
Konflik berlanjut dan memanas pada 1967 ketika Israel kembali merebut Jalur Gaza dan kawasan Sinai hingga Tepi Barat serta Yerusalem Timur dari Yordania.
Perebutan wilayah tersebut menciptakan peperangan dan menjadi alasan Israel menyerang Palestina.
Baca juga: Turki tak akan tinggal diam jika Israel ubah status quo Al Aqsa
Bukan isu agama
Gus Yahya menegaskan Palestina bukan isu agama.
“Kita perlu melihat masalah ini sebagai masalah seluruh umat manusia karena ini tidak hanya menyakiti bangsa Palestina tetapi juga orang-orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” tutur dia.
Karena itu, dia menyeru komunitas internasional agar bekerja sama mencari solusi untuk masalah ini.
“Indonesia juga sebelumnya dijajah oleh Belanda dan kita berjuang untuk merdeka. Salah satu faktor yang memungkinkan Indonesia tetap berdiri sebagai bangsa yang merdeka adalah (dukungan) terhadap tatanan internasional ini,” kata Gus Yahya.
Jika komunitas internasional menerapkan prinsip yang sama terhadap perjuangan Palestina, maka bangsa Palestina mungkin segera merdeka, kata dia.
“Karena ini adalah konstruksi fundamental dari peradaban global kita. Dengan membiarkan masalah Israel-Palestina berlarut-larut maka kita akan menuju kekacauan global, karena jika tatanan internasional tidak dihormati maka stabilitas dan keamanan global bisa terancam,” pungkas Gus Yahya.
Baca juga: EU minta semua pihak menahan diri dalam konflik Palestina-Israel
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023