Jakarta (ANTARA) - Sempit dan sesaknya ruangan yang merenggut kebebasan dari dunia luar tak cukup untuk menjadi hukuman penjera bagi para pelanggar aturan.
Jangankan mencari ruang untuk berbaring dan mengistirahatkan diri, bergerak pun tak akan leluasa ketika seorang tahanan harus berbagi ruang dengan 12 orang lainnya di dalam bilik yang kapasitas aslinya untuk 4 orang itu.
Kondisi ini mempengaruhi psikologis para penghuni menjadi tidak sehat, kegagalan untuk menjamin penghuni dalam kondisi aman dan manusiawi, hingga dapat berpangkal pada pelanggaran hak asasi manusia.
Ketidaknyamanan yang terakumulasi akibat jumlah tahanan yang melebihi kapasitas ruangan dapat menjadi bom waktu tersendiri. Hal inilah yang acapkali menjadi cikal bakal terjadinya kerusuhan, perkelahian, maupun pemberontakan dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) di berbagai daerah di Indonesia.
Memandang permasalahan overcrowding lapas sebagai hal yang serius, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama DPR melahirkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang diharapkan dapat mengurai permasalahan mengenai jumlah tahanan berlebih di lapas.
“KUHP Nasional ini memang bertujuan untuk mengatasi overcrowding,” ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan.
Hal itu membantah seluruh narasi yang mengatakan bahwa KUHP baru dapat mengakibatkan kriminalisasi berlebih, karena napas dari KUHP adalah mengatasi permasalahan jumlah tahanan berlebih di lapas.
Berbagai aturan telah tertuang di dalam kitab yang akan menjadi rujukan para aparat penegak hukum pada 2026, seperti pidana alternatif, pemaafan peradilan, hingga pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara.
Pidana alternatif
Salah satu visi KUHP Nasional adalah mencegah penjatuhan pidana penjara dalam waktu singkat.
Oleh karena itu, pidana alternatif menjadi strategi baru yang diterapkan melalui KUHP Nasional ini untuk menggantikan pidana penjara singkat yang dinilai tidak memiliki efektivitas.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Prof. Harkristuti Harkrisnowo yang kerap disapa Prof. Tuti menjelaskan pidana alternatif memberi kesempatan masyarakat untuk berinteraksi dan membantu terpidana menjalankan kehidupan sosial yang bermanfaat.
Selain itu, pidana alternatif ini juga memiliki tujuan untuk mengurangi efek buruk dari pidana perampasan kemerdekaan.
Bentuk-bentuk dari pidana alternatif ini adalah pidana denda, pidana kerja sosial, dan pidana pengawasan.
Pidana denda berlaku bagi pelaku tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah lima tahun. Pidana denda dijatuhkan kepada terpidana dengan minimal Kategori III atau denda sebesar Rp50 juta, dan maksimal Kategori V dengan besaran maksimal Rp500 juta.
Lebih lanjut, terkait dengan pidana kerja sosial, Prof. Tuti menjelaskan bahwa pidana ini dapat diimplementasikan jika hakim akan menjatuhkan pidana penjara kurang dari enam bulan atau denda Kategori II, yakni denda dengan besaran maksimal Rp10 juta.
Alternatif selanjutnya adalah pidana pengawasan. Pidana pengawasan ini dapat berlaku bagi pelaku tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun.
Tentunya, pidana alternatif memiliki syarat umum dan syarat khusus. Selain itu, terdapat kondisi yang harus dipertimbangkan oleh hakim, seperti riwayat sosial terdakwa, hingga kemampuan terdakwa untuk membayar pidana denda sebelum menjatuhkan pidana alternatif.
Pemaafan peradilan
Dalam memutus perkara, Prof. Tuti mengatakan bahwa hakim dapat memutus tanpa menjatuhkan pidana atau tanpa mengenakan tindakan. Hal ini yang kemudian dinamakan pemaafan peradilan. Pemaafan peradilan diatur dalam Pasal 54 Ayat (2) KUHP Nasional atau KUHP baru.
Latar belakang dari lahirnya pemaafan peradilan adalah kasus tindak pidana yang ringan pada masa lalu, tetapi tetap dijatuhi pidana.
Prof. Tuti mengambil contoh kasus Nenek Minah yang dipenjara selama 1 bulan 15 hari karena mencuri tiga buah kakao. Putusan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum karena Nenek Minah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 362 KUHP lama.
Padahal, bagi Prof. Tuti, ketika seorang hakim dihadapkan dengan kondisi di mana ia harus memilih keadilan atau kepastian hukum, hakim haruslah memilih keadilan. Oleh karena itu, pemaafan peradilan memberi ruang bagi hakim untuk memaafkan terdakwa dalam kasus-kasus ringan.
Sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan oleh hakim sebelum memutus perkara tanpa menjatuhkan pidana adalah ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada waktu melakukan tindak pidana, keadaan yang terjadi kemudian, serta segi keadilan dan kemanusiaan.
Di sisi lain juga terdapat panduan agar pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan kepada terdakwa. Contohnya, bila terdakwa adalah anak atau berusia di atas 75 tahun, bila terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, serta kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar.
Beberapa pengecualian pun telah diatur dalam KUHP. Panduan tersebut tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat, hingga tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pemahaman KUHP Nasional
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyoroti pentingnya pemahaman mengenai KUHP Nasional, terlebih bagi para aparat penegak hukum. KUHP Nasional ini menunjukkan pergeseran paradigma atau kerangka berpikir yang signifikan mengenai eksistensi dari lapas.
Pandangan yang semula menjadikan lapas sebagai tempat "pembuangan akhir", kini berubah menjadi tempat untuk mengintegrasikan kembali para pelanggar hukum ke dalam masyarakat dan ikut serta dalam pembangunan negara.
Diharapkan agar pendekatan dalam KUHP yang baru dapat disosialisasikan; tidak hanya kepada kampus, tetapi juga mulai menyentuh para aparat penegak hukum, termasuk para pengacara.
Para pihak yang terlibat dalam pembuatan undang-undang tersebut, yakni Kemenkumham dan Komisi III DPR RI, bersedia membantu dalam menyampaikan filosofi dan tafsir sesungguhnya dari KUHP yang telah disahkan.
Sudah saatnya penegakan hukum memanusiakan manusia, meskipun para pelanggar hukum telah melakukan kesalahan yang meresahkan masyarakat.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 52 KUHP, pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan derajat manusia. Para terpidana tetaplah memiliki hak yang patut dijamin oleh Pemerintah.
Kehadiran KUHP merupakan bukti bahwa Pemerintah tidak menutup mata terhadap permasalahan overcrowding lapas.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023