London (ANTARA News) - Harga minyak mentah dunia turun Rabu, pada malam hari menjelang pertemuan OPEC untuk mengambil keputusan dan pengumuman laporan mingguan energi AS, setelah pada hari sebelumnya harga minyak sempat mencapai 72 dollar AS per barrel, karena masih khawatir soal krisisi nuklir Iran. Kontrak utama New York, minyak mentah light sweet untuk penyerahan Juli 2006, turun 68 sen menjadi 71,35 dolar AS per barel pada perdagangan elektronk sebelum pasar AS resmi dibuka. Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk penyerahan Juli 2066 turun 51 sen menjadi 70,54 dolar AS per barel pada perdagangan melalui secara online. Harga minyak turun lantaran ada perkiraan bahwa organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) mempertahankan kuota produksi saat ini, ketika mereka mengadakan pertemuan pada hari Kamis mendatang (1/6). "Tampaknya OPEC tidak akan menurunkan tingkat produksi yang telah diserap pasar," kata Tony Nunan, manajer bidang risiko energi pada perusahaan berbasis di Tokyo, Mitsubishi Corp. Menteri-menteri OPEC mengadakan pertemuan di Caracas, Venezuela, untuk memutuskan tingkat produksi tetapi anggota delegasi telah mengindikasikan bahwa ke-11negara anggota kartel minyak itu akan mempertahankan kuota produksi resminya secara tegas. Kartel minyak itu memiliki kuota produksi resmi sebesar 28 juta barrel per hari, level tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Departemen Energi Amerika Serikat (AS) juga akan mengumumkan laporan mingguan mengenai jumlah cadangan minyak AS pada Kamis, sehari lebih lambat dari biasanya menhyusul adanya hari libur umum pada Senin lalu, yaitu "Memorial Day". Para pedagang minyak berharap, ada kenaikan jumlah cadangan minyak AS, terutama jenis bensin, di tengah mulainya musim berkendaraan di AS, saat warga AS akan mengadakan liburan dengan menggunakan kendaraan bermotor, sehingga mengurangi kekhawatiran pasokan minyak lantaran sengketa nuklir Iran. Harga berjangka minyak mentah dunia melonjak di pasar global pada Selasa (31/5) setelah para pedagang mencermati perkembangan di Iran, sambil mengamati data terbaru yang mengungkapkan bahwa kebutuhan energi di China meningkat. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006