Jakarta (ANTARA) - Seperti tahun-tahun sebelumnya, Israel akhirnya melarang warga Yahudi mendatangi kompleks Al Aqsa di Yerusalem Timur, sampai Ramadhan selesai.

Langkah ini memupus kekhawatiran Palestina, khususnya otoritas tempat suci ketiga umat Islam itu, dan juga kelompok-kelompok yang mendamba perdamaian, baik di Palestina maupun Israel.

Situasi Al Aqsa memanas seperti tahun-tahun lalu, akibat provokasi aparat keamanan Israel terhadap Muslim yang beribadah di sana tepat pada bulan paling suci dalam Islam.

Israel yang tengah diperintah koalisi kanan yang salah satunya dianggotai anasir kanan jauh, melancarkan provokasi yang membuat marah Palestina, dunia, dan komunitas Muslim di seluruh dunia, pada 5 April lalu.

Provokasi itu tadinya dikhawatirkan meluas dalam 10 hari terakhir Ramadhan ketika kaum Muslim berada di mesjid sampai pagi untuk mendapatkan keutamaan malam lailatul qadar.

Palestina khawatir kelompok Yahudi ekstrem ngotot masuk kompleks Al Aqsa yang memang bersebelahan dengan tempat suci umat Yahudi, apalagi ekstremis-ekstremis ini ingin membangun kuil Yahudi masa kuno tepat di tempat Al Aqsa berdiri.

Provokasi Israel itu juga memicu aksi balasan dari Hamas di Jalur Gaza yang bersisian dengan bagian selatan Israel, dan Hisbulllah di Lebanon yang berbatasan dengan Israel utara.

Baik Hamas maupun Hisbullah melancarkan serangan roket ke Israel yang menjadi alasan bagi Israel untuk balik menyerang dengan sama brutalnya.

Israel mungkin mengharapkan konflik besar yang tak saja bisa mempersatukan rakyat mereka setelah diguncang demonstrasi besar antiperubahan sistem peradilan, tapi juga menginterupsi prakarsa damai Iran dan Arab Saudi, serta memancing Amerika Serikat (AS) masuk konflik mereka.

Tiga skenario ini berantakan, terutama dalam kaitannya dengan detente atau peredaan ketegangan Iran-Saudi, dan reaksi AS.

Hanya sehari setelah pasukan Israel menyerbu masuk Mesjid Al Aqsa, dengan mengajak Iran, Arab Saudi yang diharapkan Israel membatalkan normalisasi hubungan dengan Iran, pada 6 April malah mengeluarkan pernyataan bersama bahwa menciptakan perdamaian adalah kebutuhan mendesak di Timur Tengah.

Saudi, bahkan mempercepat pembicaraan bagi pembukaan kembali kedutaan besar di Iran, dan sebaliknya.

Saudi bergeming, tidak saja kepada apa yang terjadi di Al Aqsa, namun juga dari pancingan Israel yang ingin normalisasi hubungan dengan Iran dikaji ulang.


Pancingan tak berhasil

Jika ada negara yang cemas melihat normalisasi hubungan Iran-Saudi, maka itu adalah Israel.

Sejak lama, Israel menganggap Iran musuh utama yang berpotensi mengancam hegemoni mereka di Timur Tengah.

Israel menginginkan semua kekuatan di Timur Tengah, terutama Iran dan Saudi, terus bermusuhan dengan tujuan melemahkan mereka.

Namun, Israel sangat mengharapkan hubungan baik dengan Saudi yang adalah pemimpin dunia Arab dan dunia Islam.

Mereka berharap Saudi mengikuti jejak dua negara Teluk, yakni Bahrain dan Uni Emirat Arab, yang meniru langkah Mesir dan Yordania, untuk mengakui eksistensi Israel.

Pada 15 September 2020, Uni Emirat Arab dan Bahrain, menyepakati Perjanjian Abraham yang mengakhiri sikap tidak mengakui Israel. Langkah ini diikuti Maroko dan Sudan, dua negara Arab di Afrika.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menempatkan hubungan dengan Saudi sebagai prioritas tertingginya.

Namun, tak disangka setelah sekian masa menjalin kontak terselubung dengan Saudi yang membuat sejumlah kalangan yakin Saudi akan membuka hubungan dengan Israel, negara yang diperintah Raja Salman bin Abdulaziz itu justru memulihkan hubungan diplomatik dengan Iran, di bawah mediasi China.

Fakta bahwa provokasi di Mesjid Al Aqsa yang disusul konflik dengan Hamas dan Hisbullah, terjadi berdekatan dengan waktu tercapainya kesepakatan damai Iran-Saudi, menunjukkan semua peristiwa itu tak mungkin tak bisa dikaitkan.

Israel berusaha memancing balasan all out dari Iran, tapi sejauh ini, baik Hamas maupun Hisbullah, tidak sesporadis menyerang Israel, seperti dalam konflik-konflik sebelumnya.

Ini jelas bukti andil Iran yang mengendalikan faksi-faksi Syiah di Lebanon, Suriah dan juga Yaman. Iran juga penyokong utama Hamas yang bukan Syiah.

Hamas yang memilih jalan kontroversi terbuka dan tak mau mengakui Israel, lebih dekat kepada Iran karena Saudi dan sebagian negara Arab cenderung menyokong Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas.

Iran tak mau terpancing masuk terlalu jauh dalam provokasi Israel, karena ingin menunjukkan kepada Saudi bahwa mereka serius menciptakan detente di Timur Tengah.

Prakarsa damai Saudi membuat Iran agak menahan diri, apalagi ofensif damai Saudi diperluas kepada upaya mengakhiri konflik Yaman dengan kelompok Syiah Houthi dukungan Iran.

Saudi bahkan tak mau lagi campur tangan di Yaman, kendati menginginkan Houthi berekonsiliasi dengan kelompok Sunni Yaman yang sebelumnya penguasa sah Yaman.


Tak lagi menguntungkan

Israel juga gagal memancing AS dan negara-negara Barat masuk terlalu dalam pada keributan di Timur Tengah yang dipicu oleh provokasi Israel di Al Aqsa.

Israel tidak mempedulikan momentum ketika AS tengah mengerahkan energi mereka guna melawan Rusia di Ukraina yang memang membutuhkan dukungan internasional yang luas.

Jika gegabah mendukung Israel, maka AS membuang peluang membangun koalisi internasional dalam menentang invasi Rusia di Ukraina, khususnya dari negara-negara Muslim dan Arab.

Semua situasi ini agaknya memaksa pemerintahan Netanyahu untuk meredakan ketegangan dengan melarang kaum Yahudi mendatangi kompleks Al Aqsa sampai Ramadhan selesai.

Namun demikian, tak ada jaminan Israel tak akan melanjutkan provokasinya, apalagi tokoh-tokoh kanan ekstrem, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir mengecam kebijakan melarang warga Yahudi mendatangi Al Aqsa.

Sebaliknya, juga tidak ada jaminan negara-negara yang diinginkan Israel terpancing dalam skenarionya, akan berubah sikap.

Saudi malah mungkin kian memperluas hubungan dengan Iran, semata karena melihat sikap Israel terhadap Palestina tak berubah kendati tiga tahun lalu empat negara Arab sudah menormalisasi hubungan dengan Israel.

Saudi akan berpikir dua kali untuk membuka hubungan dengan Israel.

Menurut sejumlah kalangan di Barat, Saudi memang bersedia menormalisasi hubungan dengan Israel, seandainya AS memberikan jaminan keamanan kepada Saudi, membantu program nuklir damainya dan mencabut pembatasan pembelian senjata AS.

Tetapi sejumlah kalangan di Saudi menegaskan bahwa negaranya hanya mau membuka hubungan dengan Israel jika negara Palestina sudah berdiri.

Kini, adanya China sebagai kekuatan alternatif, membuat Saudi mendapatkan opsi lebih luas yang membuat sikapnya tak terlalu tergantung AS.

Bagi AS sendiri, jika Israel membakar api konflik di Timur Tengah pada masa ketika AS membutuhkan dukungan internasional yang luas dalam perang di Ukraina, maka negara ini tak akan memberikan dukungan seluas sebelumnya kepada Israel.

Oleh karena itu, langkah Netanyahu kali ini dalam melarang kaum Yahudi berada di Al Aqsa selama Ramadhan yang menegaskan status quo tempat suci umat Islam itu, menjadi petunjuk bahwa Israel dihadapkan kepada realitas geopolitik yang tak lagi berpihak kepada mereka.

 

Copyright © ANTARA 2023