Jakarta (ANTARA) - Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama menyatakan bahwa naiknya jumlah kasus positif saat ini menunjukkan bahwa COVID-19 tetap ada dan berpotensi terus menginfeksi meski pandemi sudah terkendali.

“Kita tidak perlu menjadi panik karena memang pada dasarnya, COVID-19 masih ada. Bahkan (status) pandemi belum dicabut,” kata Prof Tjandra kepada ANTARA melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu.

Prof Tjandra menuturkan Pada Selasa (11/4) sore, Satgas COVID-19 melaporkan kasus positif di Indonesia mengalami penambahan sebanyak 944 kasus baru dan 14 kasus kematian. Padahal untuk beberapa waktu lalu, negara berhasil mempertahankan kasus positif harian di bawah 200 kasus.

Namun saat ini tren kembali bergerak naik dari yang semula 300-an kasus per hari menjadi nyaris mendekati 1.000 kasus dalam satu hari. Angka kematian harian yang juga sudah lama di bawah lima kasus kematian ikut berada di atas 10 kasus dan kembali memberikan duka yang mendalam.

Hal ini menjadi pengingat, katanya, meski terkendali atau pandemi akan dicabut nantinya, COVID-19 masih akan ada. Penambahan pasien yang sakit ataupun meninggal akibat COVID-19 juga masih akan ada, sama seperti kematian akibat penyakit menular lainnya.

“Hanya saja kalau sudah tidak pandemi, maka angka kasus dan kematian akan terkontrol jauh lebih baik,” ucapnya.

Menurutnya pemerintah perlu melakukan tiga upaya utama untuk menganalisa alasan kasus meningkat, supaya tren kenaikan yang signifikan tidak terjadi dan bisa diantisipasi. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain adalah peningkatan pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS) supaya dapat diketahui secara persis pola varian yang ada di Indonesia.

Ia menyarankan agar penyelidikan epidemiologi (PE) diperdalam pada kasus-kasus yang ada. Selain itu, tentu cakupan vaksinasi booster tetap harus terus ditingkatkan, baik bagi kelompok rentan dan juga masyarakat luas.

Prof Tjandra menyoroti bila beberapa negara memang sedang mengalami kenaikan kasus COVID-19 akibat varian baru XBB.1.16 atau Arcturus.

WHO bahkan mengatakan bahwa varian ini memang perlu diwaspadai.

XBB.1.16 atau Arcturus is the next Omicron variant to watch (XBB.1.16 atau Arcturus adalah varian Omicron selanjutnya yang harus diperhatikan),” ujarnya.

Sebab secara umum ada tiga kemungkinan dari varian baru COVID-19, pertama base scenario dimana berbagai varian yang ada sekarang ini, kedua best scenario atau kalau nanti ada varian baru yang lebih lemah. Sementara yang ketiga worst scenario atau bila ada varian baru yang lebih ganas.

“Untuk kita anggota masyarakat biasa maka kita jelas tidak perlu panik. Kita tetap perlu waspada, yang belum dibooster segeralah mendapatkannya, dan kita jaga pola hidup sehat yang selama ini sudah kita kerjakan, serta ikutilah informasi kesehatan yang valid,” ucapnya yang juga Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.

Baca juga: Antisipasi lonjakan COVID, Kemenkes evaluasi prokes pada mudik Lebaran

Baca juga: Kemenko PMK: Tingkatkan cakupan booster jelang mudik Lebaran

Baca juga: Kemitraan Australia-Indonesia jangkau vaksinasi 231 desa di Jateng

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023