Ini jadi sangat spesial karena tak ada yang melakukannya.
Jakarta (ANTARA News) - Maestro lukis Raden Saleh membuat banyak sketsa, gambar, litografi, dan lukisan selama hampir 69 tahun masa hidupnya.
Lukisan-lukisan karya pelukis bernama lengkap Raden Saleh Sjarif Bustaman itu dianggap bernilai tinggi. Harga salah satu lukisan besarnya sampai dua juta euro, atau sekitar Rp25 miliar.
Menurut kurator pameran "Raden Saleh, Awal Seni Lukis Modern Indonesia" di Galeri Nasional Jakarta Juni lalu, Werner Kraus, lukisan-lukisan Raden Saleh istimewa pada masanya antara lain karena dia punya ide yang berbeda tentang warna.
"Dia datang dari Jawa dimana Matahari sangat terang dan warna-warna sangat kuat dan langitnya sangat berbeda dengan langit Eropa," kata Kraus, Direktur Centre for Southeast Asian Art di Passau, Jerman.
"Saat dia mengerjakan lukisan dia mengingat langit di kampung halamannya dan dia mengerjakannya di Eropa. Ini jadi sangat spesial karena tak ada yang melakukannya," kata dia.
Kraus, yang sejak tahun 1995 fokus melakukan riset tentang Raden Saleh, juga menggunakan kekhasan sang maestro dalam melukis warna-warna langit untuk mengenali karya-karyanya.
"Sekarang pun, kalau ada orang yang bertanya apakah ini lukisan Raden Saleh atau bukan, hal pertama yang saya lihat adalah langitnya. Dan saya seringkali bisa kasih tahu dari warna langitnya," kata peneliti yang punya ketertarikan khusus pada seniman-seniman yang hidup di dua dunia itu.
Kekuatan warna pada karya-karya Raden Saleh mampu memberikan penjelasan tentang pesan-pesan dia. Setidaknya, kata Kraus, itulah yang terjadi dalam pameran lukisan Raden Saleh pada pertengahan 2012, yang mampu menarik lebih dari 20 ribu pengunjung.
"Tak perlu penjelasan, warna-warna pada karyanya sudah bicara. Dan pesannya jelas, bahwa Raden Saleh adalah putra tanah asalnya dan simpati dia hanya kepada tanah asalnya, dan para pemimpinnya, terutama Diponegoro," kata Kraus.
Warna perlawanan
Di antara sekian banyak lukisan Raden Saleh, Kraus paling menyukai lukisan yang berjudul "Penangkapan Diponegoro."
"Ini yang paling saya suka. Bukan hanya karena ini lukisan yang indah, tapi juga karena ini lukisan yang sangat penting bagi sejarah Indonesia," kata peneliti yang menghabiskan 15 tahun waktunya untuk mengumpulkan dokumen dan karya-karya Raden Saleh itu.
Sambil mengamati gambar lukisan itu pada buku setebal 357 halaman berjudul "Raden Saleh, The Beginning of Modern Indonesian Painting" Kraus mengatakan, lukisan itu menunjukkan awal kolonialisme Belanda di Indonesia.
"Sebelumnya Belanda memang sudah datang, tapi kolonialisme baru bermula setelah kekalahan Diponegoro, dan tentu Anda tahu bahwa dia tidak benar-benar dikalahkan, tapi dikelabui karena mereka mengundang untuk pembicaraan damai tapi kemudian menangkapnya," kata dia.
Ayah dari dua putri yang sudah bertahun-tahun mengajar sejarah Indonesia di beberapa universitas di Eropa itu mengatakan, Raden Saleh juga menggambarkan perlawanan terhadap kolonialisme pada lukisan tersebut.
"Lihat dia," katanya sambil menunjuk lukisan Pangeran Diponegoro dengan mata memandang ke arah pejabat Belanda yang menangkapnya.
"Ini perlawanan dan Raden Saleh mengekspresikan ini dalam lukisannya. Ini salah satu alasan saya sangat menyukai lukisan ini," katanya tentang lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, 28 Maret 1830.
Dia menjelaskan, lukisan Raden Saleh tentang kejadian itu sangat berbeda dengan lukisan tentang kejadian yang sama berjudul "Penyerahan Diri Diponegoro" karya pelukis Belanda Nicolaas Pieneman.
Pieneman menggambarkan Pangeran Diponegoro berdiri dengan wajah letih pada posisi lebih rendah dari orang-orang Belanda.
Sementara Raden Saleh menempatkan Pangeran Diponegoro dan Jenderal de Kock pada tingkatan yang sama. Pangeran Diponegoro pada sisi kanan dan de Kock pada sisi kiri. "Di Jawa, kanan untuk laki-laki, kiri untuk perempuan," katanya.
Orang Jawa yang melihat adegan itu, lanjut Kraus, akan jelas melihat hierarkinya, Pangeran Diponegoro sebagai tokoh yang dinamis dan de Kock pada sisi perempuan sebagai karakter pasif, lemah dan tanpa visi.
Raden Saleh juga menggambarkan kepala tiga prajurit Belanda lebih besar dari yang seharusnya. "Ini bukan karena dia tidak bisa menggambar, karena yang lain semua indah. Semua ada maksudnya. Kepala besar artinya raksasa, setan. Kolonialisme adalah setan dan Diponegoro memeranginya," kata Kraus menjelaskan.
"Raden Saleh juga memasukkan dirinya ke dalam lukisan, dia melihat apa yang terjadi. Lukisan yang sangat indah," katanya.
Sayangnya lukisan itu sempat merana tak terurus di ruang penyimpanan. Kondisinya sangat buruk, hampir menghitam.
"Mereka menyimpannya di Istana Kepresidenan dan mereka tidak merawatnya. Kami merestorasinya dan untuk pertama kali melihat betapa indahnya wajah-wajah dalam lukisan ini, setiap orang punya ekspresi yang berbeda," katanya.
Warna potret
Raden Saleh juga banyak melukis potret, kebanyakan potret pejabat kolonial Belanda dan sebagian orang Indonesia.
"Dia melukis banyak potret karena itu jalan untuk mendapat uang. Umumnya Anda tidak melukis potret karena menyukainya, tapi karena butuh uang," katanya.
Meski demikian, menurut Kraus, Raden Saleh tetap punya cara untuk menunjukkan sikap melalui lukisan-lukisan potretnya.
"Ada beda jelas antara lukisan potret orang-orang Belanda seperti Willem Daendels dan orang-orang Indonesia. Sangat berbeda gayanya. Dia terlihat jauh lebih berkomitmen saat melukis orang-orang Indonesia," katanya.
Menurut Kraus, lukisan potret Raden Saleh yang paling bagus adalah lukisan potret Sultan Hamengku Buwono VI di Yogyakarta.
"Ada empat lukisan dan menurut saya itu adalah lukisan paling indah yang pernah dia bikin. Kalau pergi ke keraton Yogya Anda bisa melihatnya. Sangat besar, tapi sayangnya orang keraton tidak terlalu mempedulikannya dan nyaris merusaknya," demikian Werner Kraus.
(M035)
Oleh Maryati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012