Sipadan dan Ligitan memang belum dimasukkan ke peta oleh Belanda, negara penjajah Indonesia di masa lalu,"
Jakarta (ANTARA News) - Kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia secara resmi pada 2002 bukanlah merupakan suatu kehilangan, tetapi lebih pada kegagalan Indonesia untuk memiliki, kata Sejarahwan dari Universitas Diponegoro Dr Singgih Tri Sulistiono.
"Sipadan dan Ligitan memang belum dimasukkan ke peta oleh Belanda, negara penjajah Indonesia di masa lalu," kata Singgih pada Bedah Buku "NKRI dari Masa ke Masa" yang diluncurkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), di Cibinong, Bogor, Rabu.
Bahkan pada UU No 4/Prp/1960 Indonesia tidak mencantumkan dua pulau itu sebagai bagian dari wilayah NKRI hingga Indonesia dan Malaysia kemudian membawanya ke Mahkamah Internasional pada 1998, tambahnya.
Sementara Inggris, penjajah Malaysia, terbukti telah melakukan tindakan administratif secara nyata di pulau itu, berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930.
Dengan demikian, lanjut dia, kasus khusus Sipadan dan Ligitan tak perlu jadi hal yang mendasari kekhawatiran Indonesia akan kemungkinan kehilangan pulau lainnya.
Sementara itu, plt Kepala Pusat Batas Wilayah Peta NKRI BIG Dr Khafid mengatakan, sepanjang 2012 telah dilakukan perundingan batas wilayah maritim dengan lima negara yakni Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina dan Palau.
Masalah paling kompleks adalah dengan Malaysia dimana ada empat lokasi batas laut yang masih belum sepakat, yakni wilayah teritorial di Ambalat, Laut Sulawesi, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Tanjung Datu, Serawak-Kalbar di Laut China Selatan, ZEE di Selat Singapura bagian timur dan ZEE di Selat Malaka.
Demikian pula batas laut dengan Filipina yang mencakup masalah teritorial dan ZEE, dengan Singapura masalah teritorial, sedangkan dengan Vietnam dan Palau masalah ZEE.
Sedangkan dengan lima negara lain yang berbatasan laut dengan Indonesia yakni India dan Thailand, keduanya belum mau berunding, Papua Nugini dan Timor Leste yang belum dijadwalkan serta dengan Australia yang sudah selesai namun belum diratifikasi oleh DPR sehingga belum berlaku.
"Batas laut dengan Australia di Selat Timor, DPR memang belum meratifikasi karena Indonesia melihat hasilnya tidak adil dan merugikan Indonesia, berhubung pada saat kesepakatan banyak unsur seperti unsur politis dan lainnya yang mempengaruhi," katanya.
Sedangkan perbatasan darat, Indonesia masih memiliki masalah dengan Timur Leste, Papua Nugini dan Malaysia di 10 titik dari sepanjang 2.004 km perbatasan Kalimantan dengan Serawak dan Sabah, termasuk perbatasan di Pulau Sebatik, ujarnya.
Bedah buku itu selain dihadiri Kepala BIG Dr Asep Karsidi, juga
dihadiri kalangan pejabat Direktorat Topografi Angkatan Darat (Dittopad), Dinas Survei dan Pemetaan Udara (Dispotrud) TNI AU, dan Dinas Hidrodinamika dan Oseanografi (Dishidros) TNI AL.
(D009/Z002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012