Sumbangan tidak boleh menjadi dasar untuk menentukan diterima atau tidaknya calon mahasiswa baruBandarlampung (ANTARA) - Saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara suap penerimaan mahasiswa baru Universitas Lampung Waluyo mengatakan bahwa pemberian sumbangan atau infak tidak boleh menjadi dasar pertimbangan untuk meluluskan calon mahasiswa baru masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).
"Sumbangan atau iuran atau apa pun itu tidak boleh menjadi dasar untuk menentukan diterima atau tidaknya calon mahasiswa baru," kata Waluyo yang juga dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Bandarlampung, Selasa.
Dalam sidang tersebut, Waluyo dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan korupsi penerimaan mahasiswa baru (PMB) Unila untuk terdakwa Karomani, Heryandi, dan M. Basri.
Selanjutnya, Waluyo menjelaskan bahwa jalur penerimaan afirmasi dalam PMB suatu PTN diperuntukkan bagi calon mahasiswa baru dari daerah terdepan, terluar, tertinggal atau 3T dan bukan untuk kerabat para civitas akademika.
"Karena afirmasi itu, hemat saya, diperuntukkan bagi calon mahasiswa yang berada di lokasi 3T," tambahnya.
Baca juga: Sekretaris PWNU sebut Karomani minta Rp100 juta untuk infak LNC
Menurut Waluyo, pimpinan tertinggi dalam suatu PTN, dalam hal ini rektor, tidak boleh melampaui kewenangan dalam seleksi PMB karena harus mengacu kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
"SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi) memang dibolehkan orang tua memberikannya, selama hal itu sudah diatur oleh peraturan sebelumnya dan peruntukannya guna pembangunan institusi, dan itu pun dilaporkan serta transparan," jelasnya.
Namun, lanjutnya, apabila sumbangan yang diberikan oleh orang tua calon mahasiswa atau calon mahasiswa tidak diatur dalam peraturan sebelumnya dan kepentingannya bukan untuk institusi, maka hal itu tidak dibolehkan.
"Tidak boleh kalau belum diatur dalam ketentuan yang ditetapkan sebelumnya, terlebih bila digunakan untuk kepentingan pribadi itu menyalahi aturan yang berlaku," imbuhnya.
Baca juga: Jaksa KPK ungkap alasan dosen Unila setor uang ke Karomani
Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sehingga, lanjut Waluyo, pemberian sesuatu yang memengaruhi jabatan atau penerimaan calon mahasiswa itu menyalahi wewenang sesuai peraturan.
"Peraturan menetapkan bahwa dalam penerimaan mahasiswa jalur lain yang diatur dalam perguruan tinggi memang dibolehkan mengatur mengenai bantuan. Namun, hal itu bukanlah menjadi dasar untuk meluluskan seseorang ke perguruan tinggi. Tetapi, kampus tidak boleh mengesampingkan standar akademik yang sudah ditetapkan oleh peraturan dan bantuan itu bukan untuk pribadi. Sehingga, nilai bantuan bukanlah dasar utama dalam menentukan kelulusan," ujar Waluyo.
Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan dua orang saksi ahli, yakni Waluyo dan Sigid Riyanto dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakartaa.
Sidang lanjutan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Lingga Setiawan dan empat hakim anggota lainnya itu dilaksanakan secara daring karena dua saksi ahli berhalangan hadir secara langsung.
Baca juga: Istri terdakwa Karomani tolak beri kesaksian untuk suaminya
Pewarta: Dian Hadiyatna
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023