Kami tidak ingin ke depannya ada ibu-ibu yang merasakan seperti saya
Jakarta (ANTARA) - Perwakilan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan kembali mendatangi Bareskrim Polri untuk mengajukan laporan baru terkait perlindungan anak karena 44 dari 135 korban meninggal dunia terdiri atas perempuan dan anak, namun laporan tersebut ditolak oleh penyidik.
Muhammad Yahya, Staf Hukum Kontras selaku perwakilan keluarga korban, ditemui di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin, menyebut penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan yang telah berakhir di persidangan tidak menerapkan pasal perlindungan anak, hanya menggunakan Pasal 359 dan 360 mengenai kealpaan yang mengakibatkan kematian.
"Di sini niatnya kami ingin membuat laporan baru mengenai hal tadi, cuma sayangnya setelah berdiskusi panjang lebar dan alot dengan pihak kepolisian, dari SPKT juga itu menolak laporan yang kami ajukan,” katanya.
Baca juga: Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan kecewa terhadap vonis terdakwa
Yahya datang ke Bareskrim Polri bersama lima orang perwakilan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang anaknya meninggal dunia. Namun, saat audiensi dengan penyidik, hanya satu keluarga korban yang diizinkan masuk ruang SPKT.
Menurut dia, kedatangan para keluarga korban ini untuk menuntut keadilan atas Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang menewaskan 135 orang, tetapi tidak ada pihak yang bertanggung jawab dihukum atas peristiwa tragis tersebut.
"Alasan laporan kami ditolak karena tidak membawa cukup alat bukti. Sebetulnya itu tidak berlandaskan hukum yang di mana-mana dalam hukum acara pidana pun juga proses pembuktian itu nantinya ada di penyelidikan ditemukan atau tidak,” kata Yahya.
Baca juga: Wapres: Keluarga korban dapat ajukan banding atas vonis Kanjuruhan
Daniel Siagian dari LBH Pos Malang yang mendampingi keluarga korban menyebut proses penegakan hukum kasus Kanjuruhan masih jauh dari keadilan. Dua orang tersangka divonis bebas dan satu tersangka divonis ringan.
Menurut dia, Bareskrim Polri hendaknya lebih proaktif melakukan pengembangan kasus dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan, tidak hanya melibatkan pasal-pasal yang relatif ringan (Pasal 359 dan 360), melainkan harus mengacu pada akar permasalahan dari tindak pidana yang terjadi 1 Oktober 2023 itu.
"Sudah jelas tanggal 1 Oktober 2022 aparat melakukan kekerasan yang bersifat menggunakan kekerasan luar biasa dan harusnya Bareskrim menindaklanjuti aparat keamanan dalam hal ini personel Brimob yang melakukan penembakan gas air mata ke bagian tribun stadion," ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR dukung JPU banding atas vonis bebas Tragedi Kanjuruhan
Sementara itu, Kartini (52), ibu salah satu korban Tragedi Kanjuruhan, mengaku masih berat mengikhlaskan kematian putrinya dalam tragedi tersebut dan kecewa dengan keadilan yang diberikan.
Menurut dia, putrinya berangkat ke Stadion Kanjuruhan untuk menonton pertandingan sepak bola karena sangat menyukai sepak bola, namun justru pulang dalam keadaan meninggal dunia.
"Kami tidak ingin ke depannya ada ibu-ibu yang merasakan seperti saya. Harusnya perhatian ini ke depannya jangan terulang lagi," ucap Kartini dengan suara menahan tangis.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil minta proses hukum Tragedi Kanjuruhan adil
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Ramadhan membenarkan kedatangan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan ke Bareskrim Polri.
Ia menyebut ada lima orang perwakilan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang datang didampingi pengacara dan LBH Kontras dengan tujuan membuat laporan polisi terkait dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU Perlindungan Anak.
Setelah dilakukan konsultasi oleh petugas piket Dittipidum Bareskrim Polri, petugas itu tidak memberikan rekomendasi untuk penerbitan laporan polisi.
"Karena proses hukum masih berjalan (kasasi) sehingga belum berkekuatan hukum tetap (inkrah)," kata Ramadhan.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023