Singapura (ANTARA) - Seorang ekonom asal Singapura Yan Li menyatakan kurangnya kebijakan dan pengawasan keuangan yang independen menyebabkan industri perbankan Eropa berada dalam kekacauan akibat adanya efek limpahan (spillover) dari sistem keuangan Amerika Serikat (AS).

Dalam sebuah wawancara kepada Xinhua seperti dikutip pada Senin, Yan Li menjelaskan krisis yang menimpa Credit Suisse dan Deutsche Bank mencerminkan betapa rapuhnya beberapa bank Eropa ketika mereka terlalu bergantung pada sistem keuangan internasional yang didominasi oleh dolar AS.

"Risiko keuangan sistemik yang tumpang tindih dan kurangnya kepercayaan bersama memicu krisis perbankan di Eropa," kata dosen senior di Nanyang Business School dari Nanyang Technological University, Singapura, itu.

Yan menambahkan bahwa situasi itu dapat menyebabkan industri perbankan dan ekonomi Eropa menghadapi masa-masa sulit di masa depan.

"AS mungkin akan memperlambat kenaikan suku bunga, tetapi tidak dapat menghentikannya. Oleh karena itu, industri perbankan Eropa akan menghadapi risiko-risiko sistemik yang semakin besar," jelasnya.

Kendati demikian, Yan mengatakan bahwa krisis perbankan yang sedang terjadi di beberapa negara Eropa dan AS saat ini sepertinya tidak akan memburuk menjadi krisis keuangan global seperti yang terjadi pada 2008.

"Kolapsnya industri perbankan dan bahkan sistem keuangan di Eropa dan AS tidak dapat dibendung, sehingga pemerintah-pemerintah terkait akan berupaya semaksimal mungkin guna menghentikan penyebaran krisis ini," ujarnya.

Di Eropa, bank terbesar kedua di Swiss Credit Suisse diambil alih oleh raksasa perbankan Swiss UBS akibat krisis likuiditas dan volatilitas pasar.

Selain itu, pada Maret lalu, harga saham Deutsche Bank, lembaga pemberi pinjaman terbesar di Jerman, anjlok di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap kesehatan bank-bank Eropa.


Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023