Surabaya (ANTARA) - Pimpinan DPRD Kota Surabaya memperjuangkan hak ratusan warga Medokan Semampir Timur Dam II dan V B, RT 1 RW 8, Kecamata Sukolilo, Kota Pahlawan, Jawa Timur, yang terancam terusir dari kampungnya.
"Itu setelah salah satu pengembang mengklaim bahwa lahan warga di situ sudah diakuisisi," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya A.H. Thony di Surabaya, Senin.
Menurut dia, lahan di sepadan sungai tersebut diklaim juga sudah menjadi penguasaan personal salah satu pengembang. Kampung ini sudah dihuni 202 warga. Selain berupa deretan hunian permanen, juga berupa jalan umum, balai pertemuan, tempat ibadah, dan fasilitas publik lainnya.
"Warga sudah menempati 22 tahun sejak 2021. Tiba-tiba diusik menjelang Lebaran. Ini persoalan kemanusiaan. Kami ikut perjuangkan apa yang menjadi hak warga. Jangan dibenturkan ke persoalan hukum," ujarnya.
Thony mengatakan, pengembang itu berdalih mempunyai sertifikat atas tanah dari jual beli. Warga makin resah karena bos pengembang itu juga menggugat 77 warga Rp 1,2 miliar. Gugatan itu telah diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Dijadwalkan 3 Mei 2024 mendatang warga akan berhadapan dengan hukum. Tentu ini makin membuat takut warga. Mereka harus didampingi dan dikuatkan. Sebenarnya tugas pemerintah menjamin hidup nyaman warga.
Tidak ingin kesengsaraan warga semakin menjadi, AH Thony langsung turun tangan dan bertemu dengan warga Medokan Semampir DAM V B pada Jumat (7/4) untuk mencari solusi.
Menurut Thony, permasalahan warga Medokan Semampir Dam II dan V B harus dicarikan solusi bersama bahkan, karena warga terus-terusan mendapatkan tekanan dari pengusaha besar untuk segara mengosongkan tanah yang telah dihuni sejak 2001 itu.
Ia pun tak ingin warga Surabaya menyelesaikan masalah dengan sendiri. "Warga di situ (Dam II dan V B) juga warga Surabaya, jadi harus mendapatkan perhatian dan harus didampingi karena mereka dibenturkan dengan permasalahan hukum," katanya.
Warga juga sudah mengadukan permasalahan tersebut sampai ke Presiden RI Joko Widodo pada Desember 2021. Sampai dilakukan rapat bersama oleh kantor staf kepresidenan dengan melibatkan empat Deputi. Hasilnya warga diperintahkan untuk mengirim surat permohonan pelepasan kepada Gubernur Jawa Timur. "Hasilnya tanah itu sudah tidak bermasalah,"ujarnya.
Namun, lanjut dia, ada beberapa hal yang harus dipahami pertama adanya pergeseran sempadan sungai dari 50 meter menjadi 11 meter. Artinya masih tersisa sempadan sungai seluas 39 meter.
Pergeseran sempadan itu sesuai Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 380 KPTS/M/2004 tentang perubahan batas garis sempadan pada sebagian sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo.
Bahkan ketika itu AH Thony sempat melihat patok batas. "Yang saya lihat dari sisa luasan 39 meter itu ada pemainan oknum tertentu atau mafia tanah yang ingin menguasai tanah secara pribadi yang sekarang terdapat jalan umum dan hunian warga," ucapnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan alasan pemerintah mengurangi luasan sempadan sungai karena pemerintah mengerti di kawasan pinggir sungai banyak tempat yang dijadikan kegiatan ekonomi atau kehidupan masyarakat.
"Harapannya ketika dikurangi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun kenyataannya ada pihak yang kami duga bermain kemudian dikuasai oleh kelompok tertentu," tuturnya.
Thony juga mengkroscek data tanah tersebut melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN), di dalam peta tersebut diterangkan bahwa tanah yang sekarang digunakan warga maupun jalan berwarna ungu, yang artinya merupakan tanah hak pengelolaan (HPL).
"Ternyata tanah yang yang dikotak pada peta yang berwarna ungu adalah hak pengelolaan," kata Thony.
Keresahan warga tidak hanya berhadapan dengan hukum saja, namun warga juga dituntut membayar Rp1.125.000.000. "Angka itu cukup besar, apalagi mereka untuk hidup susah. Ini bentuk superioritas atau keangkuhan yang dilakukan mafia tanah tersebut," katanya.
Sementara itu, salah satu warga setempat, Wardoyo mengaku, selama ini warga terus diintimidasi oleh oknum yang ingin menguasai tanah itu. Bahkan suatu malam pernah terjadi listrik dimatikan, agar warga semakin resah dengan bentuk intimidasi yang dilakukan.
"Yang kami ingin selama ini hidup tenang. Tidak ingin diusir dari hunian kami sampai akhir hayat," kata Wardoyo.
Bahkan, dia meminta warga untuk tetap satu komando untuk melawan. Jangan sampai terpecah-pecah. Karena menurutnya beberapa warga tengah melepaskan huniannya karena takut terus-terusan terintimidasi.
"Apalagi sekarang kami sudah digugat di pengadilan. Jadi saya minta agar warga tidak berleha-leha dan tetap melawan serta waspada," ujarnya.
Atensi
Wakil Ketua DPRD Surabaya AH Thony berharap permasalahan yang menimpa warga Medokan Semampir itu, juga menjadi atensi Pemkot Surabaya dalam hal ini Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.
Menurut Thony, permasalahan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yakni akses jalan maupun hunian warga. Apalagi tanah tersebut dicaplok untuk kepentingan pribadi.
Masalah tersebut juga berkaitan dengan utilitas atau infrastruktur kota sehingga hadirnya Pemkot Surabaya untuk memberikan rasa aman nyaman bagi warga Medokan Semampir tersebut.
"Wali kota harus turut andil membantu warga, karena ini menyangkut jalan dan hunian yang dicaplok," kata AH Thony.
Oleh karena itu, dia akan mengajak wali kota untuk turun ke lapangan bertemu dengan warga dan melihat kondisi yang sebenarnya.
Selain AH Thony juga akan menyampaikan ke Komisi C DPRD Surabaya untuk melakukan rapat dengar pendapat dengan warga dan memanggil institusi terkait.
"Kami juga minta warga untuk segera mengirim surat ke Ketua Dewan (DPRD) agar segera ditindaklanjuti secara formal melalui rapat dengar pendapat," ujarnya.
Dia berharap satgas mafia tanah dari Kejaksaan maupun Kepolisian diharapkan tidak tinggal diam ketika mendengar maupun melihat kejadian ini. Agar masyarakat bisa mendapatkan kepastian hukum atas apa yang telah menjadi haknya.
"Bentuk perlindungan dan kepastian kepada masyarakat ini perlu di tengah situasi ekonomi yang sedang susah," ucapnya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023