Mataram (ANTARA) - Kota Mataram sebagai Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, menjadi cerminan dari Indonesia. Karena berbagai suku, etnik, keyakinan, dan pandangan ada di kota yang luasnya 61 kilometer per segi itu.
Dengan demikian, masyarakat yang tinggal di Kota Mataram menggunakan bahasa daerah masing-masing, baik itu warga yang berasal dari Etnik Mbojo (Bima dan Dompu), Samawa (Sumbawa), etnik Bali, serta etnik-etnik lainnya yang datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia.
Sementara warga dari etnik dominan dalam keseharian menggunakan bahasa ibu Suku Sasak dengan berbagai varian dari banyak "paer" (wilayah) di Pulau Lombok.
Karenanya, kata, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Kota Mataram Lalu Martawang, keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mendukung keanekaragaman suku dan etnik tersebut.
"Bayangkan ketika kita berkunjung ke satu daerah jika kita tidak bisa bahasa Indonesia, maka kita akan menggunakan bahasa 'tarzan' untuk berkomunikasi. Tapi tentu kita tidak berkenan dan malas menggunakan bahasa 'tarzan'," katanya.
Terkait dengan itu, Pemerintah Kota Mataram mendorong pengutamaan penggunaan Bahasa Indonesia dalam aktivitas sehari-hari, kemudian melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.
Martawang yang ikut dalam kegiatan forum Diseminasi Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII dengan sub tema revitalisasi bahasa daerah di Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Rabu-Kamis (5-6/4-2023), mengatakan dalam forum itu dibahas perkembangan yang terjadi berkaitan dengan bahasa daerah.
Bahasa daerah menjadi sokoguru penunjang keberadaan bahasa Indonesia, dan bahasa Indonesia diperkuat pada basis kehidupan berjalan bersama, sehingga bahasa daerah memperkuat bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk mempersatukan perbedaan dalam konteks bahasa daerah yang ada.
Terkait dengan itu, untuk memaksimalkan pengembangan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sekitar, pemerintah daerah harus menyiapkan regulasi yang mengaturnya.
Regulasi itu sekaligus untuk mengurangi penggunaan bahasa asing masih marak terutama di fasilitas umum.
Pemerintah Kota Mataram sejak dulu sudah mendorong penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di fasilitas publik. Selain penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah juga harus tetap dilestarikan.
Hanya saja, bahasa asing yang digunakan saat ini merupakan sikap adaptif dengan keadaan. Jika tidak beradaptasi dengan perkembangan saat ini, maka secara tidak langsung kita akan tersingkir oleh keadaan.
Kadang-kadang kita dipaksa untuk adaptif dengan perkembangan saat ini, tapi kita berusaha tidak menghilangkan substansi dasar.
Sementara terkait revitalisasi bahasa daerah, merupakan upaya dalam melindungi dan melestarikan bahasa daerah, sehingga generasi muda mau belajar dan menggunakannya.
Revitalisasi bahasa daerah memiliki prinsip dinamis, yaitu berorientasi pada pengembangan dan bukan sekadar memproteksi bahasa.
Revitalisasi tersebut juga berdasarkan pada adaptasi dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat penuturnya, regenerasi dengan fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah, dan merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya.
Bahasa daerah sesungguhnya merupakan aset dan sebagai salah satu kekayaan kultural bangsa Indonesia yang berbhinneka.
Karena itu, upaya-upaya pelestarian bahasa daerah harus dilakukan secara nyata dengan melibatkan peran berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah.
Bahasa daerah menjadi perekam kearifan lokal, khazanah pengetahuan, kebudayaan, serta kekayaan batin penuturnya. Kepunahan bahasa daerah sama artinya dengan hilangnya aset-aset tak benda yang terekam di dalam bahasa daerah tersebut.
Melalui revitalisasi bahasa daerah diharapkan para penutur muda dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan pada gilirannya, generasi tersebut memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai.
Penyerapan kosakata bahasa daerah, terutama kosakata budaya, merupakan suatu usaha yang harus didukung dalam usaha pengembangan bahasa Indonesia.
Dukungan tersebut layak diberikan karena ternyata banyak sekali konsep yang berasal dari kosakata bahasa daerah yang tidak dapat ditemukan dalam konsep bahasa Indonesia dan kalaupun ada, bentuknya biasanya berupa frasa.
Selain itu, kosakata bahasa daerah juga memiliki ungkapan yang berisi nilai-nilai kearifan lokal yang biasanya hanya dapat dijumpai dalam bahasa tertentu.
Terkait dengan itu, Pemerintah Kota Mataram mendukung upaya pelindungan bahasa dan sastra daerah di Kota Mataram dengan memastikan adanya kandungan muatan lokal pada kurikulum pendidikan yang dipertegas Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 3 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan pendidikan.
Melalui kebijakan tersebut, diharapkan keberadaan bahasa dan sastra daerah di Kota Mataram khususnya, dan di NTB umumnya bisa terus lestari, dan generasi penerus selanjutnya bisa menjadi penutur aktif bahasa daerahnya sendiri.
Setiap hari Sabtu, anak-anak sekolah dasar di Mataram menggunakan pakaian adat Suku Sasak yang menjadi bagian dari melestarikan budaya dan bahasa daerah.
Dengan demikian, harapannya anak-anak tidak tercabut dari akar budayanya.
Sementara Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat Puji Retno Hardiningtyas mengatakan, salah satu yang menjadi ancaman terhadap eksistensi bahasa Indonesia saat ini adalah penggunaan bahasa asing.
Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24/2009, tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, sudah jelas tentang tata cara penggunaan bahasa Indonesia.
Bahkan dalam forum luar negeri pun kita harus menggunakan bahasa Indonesia.
Terkait dengan itu, jika mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka semua harus tertib menggunakan bahasa Indonesia, baik untuk petunjuk arah, papan nama gedung, fasilitas umum, dan lainnya.
Trigatra Bangun Bahasa harus tetap menjadi acuan, yakni utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.
Di sisi lain, ancaman eksistensi bahasa Indonesia juga dipengaruhi karena perkembangan pariwisata. Pasalnya, pariwisata bisa lebih dikenal jika menggunakan bahasa asing.
Kondisi itu terjadi karena rata-rata investor di bidang pariwisata merupakan orang asing. Ini menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama sebab kondisi ini tidak hanya di NTB melainkan di seluruh daerah juga mengalami kondisi serupa.
Karenanya, pihak pariwisata hendaknya bisa tahu amanah Undang-Undang 24/2009 agar penataan dan penamaan pada instansi pemerintah dan swasta bisa menggunakan bahasa Indonesia.
Terkait dengan itu, upaya meningkatkan penggunaan Bahasa Indonesia di Daerah NTB, saat ini dilakukan pendampingan terkait bagaimana bahasa di ruang publik, papan nama pemerintah dan lembaga terhadap 45 lembaga terdiri atas 15 lembaga pemerintah, 20 pendidikan, dan 10 swasta.
Pendampingan dilakukan untuk perbaikan terhadap penerapan Trigatra Bangun Bahasa.
Misalnya, pada satu papan nama lembaga harus menuliskan nama dengan Bahasa Indonesia dengan ukuran huruf lebih besar, kemudian bahasa daerah, dilanjutkan dengan bahasa asing yang ukuran huruf lebih kecil.
Selain itu, Kantor Bahasa Provinsi NTB menggandeng sejumlah universitas di daerah itu untuk mengajarkan bahasa Indonesia ke penutur asing guna menginternasionalkan Bahasa Indonesia.
Beberapa universitas yang digandeng, di antaranya Universitas Muhamadiyah, Hamzanwadi, Poltekpar, Bumi Gora, dan juga sekolah alam. Selain itu, bekerja sama dengan Afiliasi Pengajar dan Penggiat Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (APPBIPA), sebab program ini sesuai dengan misi APPBIPA, yakni memartabatkan bahasa Indonesia dan memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia kepada orang asing.
Kegiatan ini rutin kami laksanakan secara berkala pada beberapa kabupaten/kota di daerah ini. Saat ini kita sedang turun di Desa Bilebante di Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam kegiatannya, tim yang ada Kantor Bahasa, turun bersama dengan perwakilan dari universitas dan APPBIPA memberikan edukasi bahasa Indonesia bagi penutur asing yang rata-rata pelaku pariwisata di kawasan Mandalika.
Hal itu juga sejalan dengan perkembangan pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah setelah adanya Sirkuit Mandalika, sehingga program ini bisa tepat sasaran.
Harapannya, penutur asing bisa menguasai bahasa Indonesia untuk memudahkan dalam berkomunikasi dan berinteraksi selama berada di daerah ini.
Sementara untuk warga lokal, termasuk para pemandu wisata, akan diajarkan bahasa asing, agar dapat berkomunikasi dengan baik dan bisa menyampaikan secara tepat apa yang ingin disampaikan.
Kantor Bahasa juga mengajarkan storytelling, serta bagaimana menggali potensi yang ada di wilayah masing-masing.
Program lain yang dilaksanakan Kantor Bahasa NTB, saat ini juga ada program edukasi bahasa dan sastra Indonesia di daerah (terdepan, terpencil dan tertinggal), sebagai salah satu upaya diseminasi bahasa Indonesia di daerah ini.
Program edukasi bahasa dan sastra Indonesia di daerah 3T dilaksanakan dengan memberikan bantuan buku berupa buku-buku cerita dengan sasaran ratusan sekolah dasar (SD) wilayah NTB.
Beberapa daerah yang mendapatkan bantuan buku, antara lain di Kabupaten Lombok Utara (KLU) sebanyak 44 sekolah, kemudian di Lombok Tengah sebanyak 37 sekolah, dan satu sekolah di Kota Mataram yakni SDN 10 Ampenan.
Jumlah sekolah yang menjadi sasaran program edukasi bahasa Indonesia saat ini tercatat sekitar 300 sekolah lebih. Satu sekolah mendapatkan bantuan buku 1.578 eksemplar.
Program edukasi bahasa dan sastra Indonesia dengan bantuan buku ini dimulai tahun 2022, dengan melakukan pendampingan bersama Balai Guru Penggerak dan Balai Peningkatan Mutu Pendidikan sebagai fasilitator dan literasi.
Buku tersebut juga bisa menjadi bahan orang tua dalam membimbing anak-anak ketika di rumah agar mampu menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dengan demikian, diharapkan Trigatra Bangun Bahasa yakni utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing di daerah 3T bisa tercapai.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023