Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties/COP) dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 di Doha, Qatar, belum menghasilkan kesepakatan menggembirakan bagi negara perunding.
Pertemuan High Level Segment yang dimulai Jumat (7/12) tengah malam, pada Sabtu dinihari ditutup tanpa menghasilkan kesepakatan politis sehingga Presiden COP18 Abdullah bin Hamad Al-Attiyah menunda negosiasi tingkat menteri untuk mengambil keputusan konferensi yang rencananya dilakukan Jumat sampai Sabtu pukul 08.30 waktu setempat, demikian keterangan pers dari Delegasi Indonesia untuk COP Doha.
Pada Pertemuan Para Pihak Jumat, Abdullah meminta Menteri Lingkungan Singapura, Vivian Balakrishnan, dan Menteri Lingkungan Jerman, Peter Altmaier, menjembatani perbedaan pandangan yang belum terselesaikan sebelum masuk ke sesi selanjutnya.
Pimpinan pertemuan antara lain meminta respon dari para pihak tentang komitmen negara maju untuk penurunan emisi, aksi mitigasi negara berkembang, REDD+, pendekatan sektoral untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca, dan instrumen pelaksanaan yang mencakup pendanaan.
Isu pendanaan dalam teks yang ditawarkan menyebutkan bahwa negara maju hanya dapat menyetujui keputusan yang sifatnya "jaminan kualitatif" karena itu negara maju harus diyakinkan kembali untuk melaksanakan komitmen pendanaan jangka panjang yang dibuat tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark.
Saat itu negara maju berkomitmen untuk memobilisasi dana 100 miliar dolar AS sampai tahun 2020, dengan catatan negara berkembang melakukan aksi mitigasi dan melaporkannya secara transparan.
Sementara negara-negara berkembang meminta penyaluran pendanaan jangka panjang dimulai dengan kerangka tiga tahun (2013-2015) dengan nilai dana 60 miliar dolar AS.
Angka konkret tersebut diperlukan agar negara berkembang memiliki kepastian mengenai pendanaan yang tersedia untuk membantu mereka melaksanakan kegiatan-kegiatan adaptasi untuk mengatasi berbagai dampak buruk perubahan iklim.
Tanpa keputusan mengenai angka tersebut, negara berkembang khawatir akan ada kesenjangan pendanaan setelah periode pendanaan jangka pendek periode 2020-2012 senilai 30 miliar dolar AS berakhir tahun ini.
Ketua Delegasi RI untuk COP Doha, Rachmat Witoelar, mengatakan banyak hal yang belum terselesaikan untuk mencapai kesetaraan dan ambisi global dalam upaya mitigasi perubahan iklim. "Utamanya penyediaan dana, teknologi dan peningkatan kapasitas untuk jangka menengah dan panjang, setelah 2012," katanya.
Indonesia berpendapat bahwa prinsip tanggung jawab bersama dengan kewajiban yang berbeda dan kemampuan masing-masing negara harus dikedepankan dalam perundingan untuk mitigasi perubahan iklim.
"Negara maju harus menunjukkan kepemimpinannya dalam menurunkan target emisi. Secara bersamaan Negara berkembang (meskipun tidak ada keharusan) telah melakukan beberapa upaya mitigasi di dalam negerinya," kata Rahmat.
Rachmat, yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, mengingatkan kepada para perunding bahwa meninggalkan Doha dengan tangan hampa bukanlah pilihan.
"Doha harus menghasilkan ambisi, substantif dan hasil yang seimbang bagi umat manusia," katanya.
Delegasi Indonesia berharap konferensi Doha menghasilkan keputusan soal komitmen penurunan emisi periode kedua dari Protokol Kyoto dan proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang komprehensif, ambisius, dan berkekuatan hukum selambatnya tahun 2015.
(M035)
Pewarta: Maryati
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2012