Jakarta (ANTARA) - Selama ratusan tahun Finlandia selalu berusaha mengakomodasi kepentingan negara tetangganya yang lebih meraksasa, yakni Rusia.

Itu terjadi sejak era Tsar Rusia, Uni Soviet, dan ketika Rusia diperintah Vladimir Putin yang naik berkuasa lewat proses demokratis, namun lambat laun menjadi penguasa yang otoriter.

Masa yang paling menonjol tentu saja adalah ketika Finlandia menjalani zaman manakala dunia diselimuti Perang Dingin.

Negara Skandinavia paling timur itu mengadopsi sikap netral demi bertetangga baik dengan Rusia yang di antaranya pernah berperang selama tiga bulan mulai November 1939 sampai Maret 1940 yang membuat Finlandia kehilangan sembilan persen wilayahnya.

Model dalam bagaimana Finlandia berhubungan dengan tetangganya yang jauh besar itu dikenal dengan istilah "finlandisasi".

Sikap ini menjadi acuan untuk hubungan internasional di Eropa, khususnya untuk bentuk ideal netralitas yang bisa diadopsi sebuah negara.

Model ini, bahkan menjadi salah satu rujukan untuk politik luar negeri negara-negara eks Uni Soviet di luar Rusia, termasuk Ukraina.

Sebelum Rusia menginvasi Ukraina setahun lalu, finlandisasi dianggap solusi untuk Ukraina yang tidak di sisi Barat tapi tidak juga di sisi Rusia, tidak bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tetapi juga tidak masuk Organisasi Pakta Keamanan Bersama (CSTO) pimpinan Rusia.

Konsep itu sempat ditawarkan menjadi solusi untuk mengatasi krisis antara Rusia dan Ukraina.

Namun, model itu segera tercampakkan, bukan karena Finlandia, tetapi sikap tetangga Ukraina sendiri yang lebih meraksasa itu.

Pemikiran menjadi negara netral itu perlahan sirna manakala Ukraina semakin mendekati Uni Eropa dan sistem demokrasi Barat, karena Rusia yang semakin otoriter dan acap menggunakan minyak dan gas untuk menekan Ukraina sampai pada tingkat mengintimidasi.

Situasi semakin buruk ketika Barat menjanjikan keanggotaan NATO kepada Ukraina. Pada saat bersamaan, Ukraina semakin tertarik menjadi anggota Uni Eropa yang dianggap Rusia sebagai langkah pendahuluan menuju NATO.

Namun, sampai titik itu, Ukraina masih berusaha menjaga perasaan Rusia.


Butuh perlindungan

Situasi berubah setelah Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea pada 2014. Ukraina banting setir menjadi kian condong ke Barat dan semakin tertarik masuk komunitas NATO.

Rusia tak mau kalah. Mereka semakin keras menekan Ukraina.

Akhirnya, dengan salah satu alasan melindungi etnis Rusia di Ukraina Timur yang sebagian di antaranya memisahkan diri dari Ukraina sejak 2014, Rusia pun menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.

Rusia ingin memberi pesan kepada Ukraina dan negara-negara eks Soviet agar jangan coba-coba berpaling dari Rusia.

Mereka juga ingin NATO tahu bahwa Rusia akan mengambil tindakan apa pun untuk memastikan aliansi pertahanan itu tak memperluas keanggotaan sampai bagian timur Eropa.

Cuma kali ini sikap Barat menjadi sama kerasnya dengan Rusia, dan bahkan lebih padu bersikap dibandingkan ketika Krimea dianeksasi Rusia pada 2014.

Tetap saja, yang paling mengejutkan dari semua itu adalah sikap sejumlah negara yang selama ini teguh bersikap netral.

Hanya dua bulan sejak invasi itu, Finlandia dan kemudian Swedia, dua negara netral di Eropa, melamar menjadi anggota NATO pada Mei 2022.

Mereka merasa sudah tidak nyaman lagi sendirian ketika ada kekuatan besar di dekat mereka yang semakin agresif. Mereka membutuhkan perlindungan dari kekuatan yang lebih besar lainnya.

Sempat tertahan oleh sikap Turki dan Hungaria, Finlandia akhirnya menjadi anggota ke-31 NATO setelah perang di Ukraina memasuki tahun kedua.

Mereka diterima menjadi anggota NATO tepat saat ulang tahun ke-74 pakta militer lintas Atlantik ini pada 4 April 2023.

Rusia marah besar, terutama karena situasi ini membuat NATO bisa menggelar asset-asset militer milik mereka di Finlandia yang memiliki perbatasan darat sepanjang 1.340 km dengan Rusia.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko pun mengancam memperbesar kekuatan militer di perbatasan Rusia-Finlandia, jika anggota NATO yang lain menempatkan pasukannya di Finlandia.

NATO sendiri menyatakan tak akan terburu-buru menempatkan pasukan di Finlandia, kendati tahun lalu beberapa kali menggelar simulasi perang bersama angkatan bersenjata Finlandia.


Punya militer sangat terlatih

Berpenduduk hanya lima juta orang, Finlandia jauh lebih kecil ketimbang Rusia dan Ukraina. Namun, negara ini membuat panjang perbatasan NAT0-Rusia menjadi bertambah dua kali lipat dari sebelumnya.

Bukan itu saja, negara ini memiliki kekuatan militer yang andal yang sangat terlatih. Finlandia juga menjadi satu dari sedikit negara di Eropa yang tak pernah mengurangi anggaran pertahanan sejak Perang Dingin berakhir.

Tentara Finlandia juga piawai melancarkan operasi dalam suhu di bawah nol. Pasukan cadangan mereka lumayan besar, selain dilengkapi instrumen perang yang baru nan canggih karena selalu membeli alat-alat perang baru, termasuk jet tempur siluman F-35 buatan Amerika Serikat.

Itu nilai tambah Finlandia bagi NATO. Sebaliknya dari NATO, Finlandia mendapatkan jaminan keamanan kolektif yang memiliki doktrin "serangan terhadap salah satu anggota NATO dianggap serangan terhadap seluruh anggota NATO". Ini yang membuat Finlandia menjadi lebih percaya diri menghadapi Rusia yang dilihatnya kian agresif dan gemar menabuh genderang perang.

Bagi Rusia sendiri, masuknya Finlandia dalam NATO menjadi pukulan politik besar, khususnya bagi Presiden Vladimir Putin yang sejak lama mengeluhkan perluasan NATO yang lalu dipakai sebagai justifikasi untuk menginvasi Ukraina.

Invasi di Ukraina juga ditujukan untuk memecah belah keutuhan NATO. Namun, menurut Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, yang didapatkan Rusia justru sebaliknya, yakni NATO yang semakin kompak.

Lebih dari itu, alih-alih memberi pelajaran kepada Ukraina dan memberi pesan kepada negara-negara eks Soviet agar jangan coba-coba mendekati NATO, Rusia malah membuat gerah negara-negara netral seperti Finlandia dan Swedia.

Masuknya Finlandia ke dalam NATO juga bisa mendorong sejumlah negara eks Soviet di Eropa Timur dan Kaukasia untuk mengikuti jejak negara Skandinavia tersebut. Bahkan, penduduk di negara-negara netral lain, seperti Austria dan Swiss sempat berpikir untuk mengikuti jejak Swedia dan Finlandia masuk dalam payung keamanan NATO.

Entah ini semua bakal mendorong koreksi sikap di Rusia atau justru membuat Rusia kian murka dan menyalahkan siapa pun atas isolasi yang di satu sisi dipicu oleh sikapnya sendiri yang terlalu agresif kepada tetangga-tetangganya.

Finlandia sendiri dipastikan bukan negara terakhir yang akan bergabung dengan NATO. Masih ada Swedia yang permohonannya tertahan oleh sikap Turki dan Hungaria.

Ukraina juga bisa-bisa menjadi calon anggota NATO berikutnya jika wilayah-wilayahnya yang diduduki Rusia tak berhasil mereka dapatkan lagi.

Namun, aspek paling ironis dari aksi Rusia di Ukraina adalah perang itu memicu jebolnya bendungan netralitas Eropa dan pupusnya finlandisasi yang justru membuat Eropa memiliki ruang yang lebih dari sekadar dikotomi lawan dan kawan. Ini paradoks zaman yang setelah Perang Dingin berakhir seharusnya meninggikan multilpolarisme.

Copyright © ANTARA 2023