Tokyo (ANTARA) - Para menteri perdagangan dari Kelompok Tujuh (G7) sepakat bekerja sama memberlakukan kendali ekspor teknologi mutakhir di tengah kekhawatiran bahwa negara-negara seperti China dapat menggunakannya untuk tujuan militer dan pengintaian.

"Kami tegaskan kembali bahwa kendali ekspor adalah alat kebijakan fundamental untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh alih teknologi penting untuk tujuan militer serta kegiatan lain yang mengancam keamanan global, regional, dan nasional," kata para mendag G7 dalam pernyataan bersama setelah pertemuan daring pada Selasa (4/4).

Kelompok tujuh negara/kawasan ekonomi besar itu--Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa--juga menekankan perlunya menggunakan pembatasan ekspor serupa untuk mencegah teknologi penting dan baru berkembang disalahgunakan oleh para "aktor jahat".

Namun, pernyataan G7 itu tidak menyebutkan negara tertentu.

Jepang, yang memegang jabatan presiden bergilir G7 tahun ini, telah bergabung dengan upaya pimpinan AS untuk menghalangi kemampuan China mengembangkan semikonduktor canggih, yang dapat digunakan untuk memodernisasi militer dan melatih kecerdasan buatan (AI).

"Kami terus bekerja sama dengan negara-negara lain dalam memperkuat kendali ekspor yang efektif dan bertanggung jawab dengan cara yang sesuai dengan perkembangan pesat teknologi," kata pernyataan itu.

China juga mendapat kecaman atas tindakannya di Xinjiang, wilayah di negara itu yang ditinggali kelompok minoritas Muslim Uighur, yang dikabarkan berada dalam pengawasan ketat lewat kamera-kamera yang menggunakan AI dan perangkat pengenal wajah.

Sementara itu, para mendag G7 menyatakan keprihatinan serius atas penggunaan pengaruh ekonomi untuk mengganggu pemilihan umum di negara lain.

Mereka mengatakan bahwa mereka "menentang keras setiap upaya sepihak untuk mengubah status quo dengan pemaksaan ekonomi".

Di tengah kebuntuan antara Rusia dan Barat atas invasi Moskow ke Ukraina, G7 mengutuk upaya Rusia untuk menggunakan ketergantungan Eropa pada minyak dan gas alam Rusia sebagai senjata.

Penggunaan kekuatan ekonomi China demi konsesi juga telah memicu kekhawatiran negara-negara di kawasan Indo-Pasifik.

Menyadari pentingnya membangun rantai pasokan yang tangguh, para anggota G7 juga menyinggung pentingnya berkolaborasi dengan mitra non-G7, terutama negara-negara berkembang, sebagai "pemasok, produsen, dan pembeli utama dalam rantai pasokan global".

"Kami .... akan membahas cara memperdalam kerja sama dengan para mitra ini," kata para menteri G7 dalam pernyataan itu.

Mereka juga mengatakan bahwa transparansi, diversifikasi, kepercayaan, dan keandalan adalah beberapa "prinsip-prinsip penting" untuk membangun rantai pasokan yang kuat.

"Kami ingin memperdalam diskusi untuk menyebarkan prinsip-prinsip rantai pasokan baru ini ke negara-negara yang berpikiran sama di luar G7, termasuk negara-negara di belahan dunia selatan," kata Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang Yasutoshi Nishimura kepada wartawan setelah pertemuan tersebut.

Hasil diskusi tingkat menteri itu diharapkan dapat menjadi masukan bagi pertemuan para pemimpin G7 pada 19-21 Mei di Kota Hiroshima, Jepang.

Para menteri perdagangan G7 dijadwalkan bertemu secara langsung pada Oktober di Sakai, Prefektur Osaka.

Sumber: Kyodo-OANA

Baca juga: G7: China harus menekan Rusia untuk akhiri invasi di Ukraina
Baca juga: G7 akan kumpulkan 600 miliar dolar lawan Proyek Sabuk dan Jalan China
Baca juga: China kecam pernyataan G7 yang dianggap campuri urusan dalam negeri
​​​​​​​

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023