Saya tahu persis saat bertugas dulu, banyak berita bohong terkait situasi di Timor Timur"

Tudingan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur adalah lembaran sejarah kelam bagi Indonesia di dunia internasional.

Indonesia dianggap negara agresor yang menganeksasi Timor Timur, sedangkan bagi Indonesia, Timtim adalah saudara yang menginginkan berintegrasi setelah ditinggal pergi Portugis.

Tahun 1999, banyak media, khususnya media asing, yang cenderung berbohong dan menyudutkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Indonesia. Banyak kabar simpang siur dan gosip yang menjadi dasar pemberitaan media asing.

Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang menjabat Panglima Penguasa Darurat Militer (PDM) Timtim saat itu, melihat sendiri perbedaan antara fakta di lapangan dengan pemberitaan media-media asing.

"Saya tahu persis saat bertugas dulu, banyak berita bohong terkait situasi di Timor Timur. Namun, karena kami tidak memiliki kekuatan terhadap media, berita bohong itu seolah-olah nyata," kata Kiki.

Karena itu, sebagai salah satu pelaku dan saksi sejarah Timtim pascareferendum, Kiki berusaha membongkar kebohongan-kebohongan yang menyudutkan Indonesia itu melalui buku "Timor Timur - The Untold Story".

Sebelum menjabat Panglima PDM, Timtim bukanlah tanah yang baru. Lulus Akademi ABRI pada 1971, Letnan Dua Kiki Syahnari langsung ditugaskan pada Komando Daerah Militer XVI/Udayana yang saat itu meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Akhir 1974, dia ditugaskan di Komando Distrik Militer Atambua di Pulau Timor, tidak jauh dari perbatasan Indonesia dan Timor Portugis.

Saat konflik di Timor Portugis kian tajam, dia juga terlibat dalam operasi memasuki wilayah itu.

Pada 1975, pascadekolonisasi Timor Portugis oleh Portugal, perselisihan bersenjata antara Uniao Democratica de Timorense (UDT), partai politik yang berhaluan merdeka tetapi menginduk ke Portugal, dan Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) semakin memanas.

Buka pintu

September 1975, UDT terdesak hingga perbatasan Indonesia di Motaain, tempat Kiki menjabat Komandan Koramil. Dia pun membuka pintu bagi pengungsi Timor Portugis untuk memasuki Indonesia.

Tentang masuknya ABRI ke Timor Portugis pada 1974, Kiki menjelaskan kebijakan itu diambil pemerintah Indonesia setelah memperkirakan konflik itu akan semakin tajam dan situasinya memburuk.

"Waktu itu, menjelang pengujung 1974, Pemerintah Indonesia bersama TNI/ABRI di Jakarta telah membuat perkiraan, jika konflik di Timor Portugis kian tajam dan kondisinya semakin buruk, ABRI akan masuk ke wilayah itu dengan dukungan Amerika Serikat dan alasan kemanusiaan," tulisnya di halaman 10.

Ketika Timor Portugis berintegrasi dan menjadi provinsi ke-27 dengan nama Timor Timur, Kiki masih bertugas di sana hingga September 1983, ketika dia ditugaskan mengikuti Kursus Lanjutan Perwira (Suslapa) di Bandung.

"Sesungguhnya saya benar-benar tidak nyaman menerima tugas itu karena harus meninggalkan Timor Timur dalam keadaan tidak menentu," tulisnya di halaman 119.

Namun, pada 1993, dia kembali ditugaskan di Timtim untuk menjabat Wakil Komandan Korem 164/Wira Dharma yang bermarkas di Dili. Hingga 1994, dia menjabat Komandan Korem menggantikan Kolonel Johny Lumintang.

Dengan pengalamannya di Timtim selama 11 tahun, sejak berintegrasi ke Indonesia hingga pascareferendum, Kiki mengenal dengan tepat kondisi TNI dan masyarakat setempat.

Saking dekatnya pada masyarakat setempat, dia menguasai dengan fasih bahasa setempat, Bahasa Tetun.

Untuk itu dia adalah orang yang tepat untuk mengungkap ketidakbenaran pemberitaan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di Timtim.

Tokoh Timtim

Pada halaman sampul buku ini, intelektual muda Timtim Florencio Mario Vieira memiliki pandangan berbeda terhadap tudingan pelanggaran HAM di Timtim.

"Barometer pelanggaran HAM di Timtim semestinya diletakkan pada situasi masa lalu ketika Indonesia - dengan dukungan luar negeri (baca: Amerika) - masuk ke Timtim. Seandainya Menlu AS Henry Kissinger tidak mampir ke Jakarta dan bertemu Presiden Soeharto, mungkin saja Indonesia tidak secepat itu menerjunkan pasukan gabungan ke Dili," tulisnya.

Membaca buku ini, pembaca akan tergoda untuk terus membaca hingga selesai, setidaknya diungkapkan putri Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid.

"Buku ini sangat menarik. Kalau sudah membaca pasti ingin terus membaca sampai selesai," kata Yenny pada diskusi dan peluncuran buku ini Rabu (5/12).

Bagi Yenny, Kiki dan Timtim tidak asing. Saat referendum 1999, dia berada di Timtim sebagai wartawan salah satu media asing.

"Saya tahu betul bagaimana pandangan asing terhadap TNI dan Indonesia. Saat itu, meskipun saya berusaha cover both side dengan memasukkan pandangan prointegrasi dalam laporan saya, pasti dihapus oleh editor," tuturnya.

Jenderal (Purn) Wiranto, yang menjabat Panglima ABRI saat referendum 1999, mengatakan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan tidak memiliki kewenangan melawan pemberitaan asing kala itu.

"Sementara Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengatakan sebenarnya memiliki unit yang menangani pemberitaan-pemberitaan tersebut. Namun, karena dana terbatas, unit itu dibubarkan," katanya.

Sementara pengamat politik J Kristiadi mengatakan sebagai pihak yang terlibat langsung di Timtim, tentu sisi subjektivitas Kiki cukup memengaruhi penulisan buku itu.

"Tentu ada kebanggaan korps yang dia pegang sehingga memang akan lebih kredibel bila buku itu ditulis oleh orang yang netral. Namun, tetap ada kejujuran yang disampaikan dalam buku itu," katanya.

Terlepas dari itu semua, buku ini layak dibaca terutama bagi generasi muda, baik sipil maupun militer.

Bagi generasi muda TNI buku ini akan sangat bermanfaat, terutama untuk meneladani sikap dan tindakan Kiki selagi menjalankan tugas di wilayah konflik.

(D018/A011)

Oleh Dewanto S
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012