... Sekarang, saya memiliki hidung yang lebih besar, saya merasa lebih nyaman dan puas... "
Kabul (ANTARA News) - Meskipun sebagian besar dari mereka hidup di balik tabir, beberapa perempuan Afganistan merasa tertekan dan ingin berpenampilan cantik nan indah sebagai perempuan ideal, untuk itu mereka mengantri untuk bedah plastik di beberapa klinik di Kabul.
Beberapa tahun lalu, pembedahan dilakukan untuk menghilangkan luka perang atau bekas luka karena kekerasan rumah tangga, serangan zat asam ,atau upaya membakar diri oleh perempuan yang putus asa karena masa-masa sulit dalam masyarakat, yang didominasi laki-laki.
Sekarang, yang paling populer adalah bedah hidung, tetapi bedah wajah, pengencangan payudara dan menghilangkan lipatan perut yang juga diburu.
"Sepuluh tahun yang lalu semua pembedahan bertujuan untuk menyembuhkan bekas luka," kata Dr Aminullah Hamkar (53), yang mengelola satu klinik bedah plastik di Kabul.
"Kadang-kadang saya bertanya kepada para pemudi yang datang, mengapa mereka ingin bedah plastik, mereka hanya mengatakan mereka ingin terlihat lebih baik dan cantik," kata Hamkar.
Menurut dia, hal ini merupakan pertanda baik, karena menunjukkan bahwa orang-orang, setidaknya di ibu kota, tidak lagi mengalami kekerasan oleh gerilyawan garis keras Islam dan merenungkan ide-ide untuk berdamai.
"Saya selalu iri melihat saudara saya dan orang lain memiliki hidung lebih panjang dan lebih besar, sementara hidung saya kecil dan datar," kata Shaida, seorang gadis 18 tahun, yang melakukan bedah hidung di klinik Hamkar.
Shaida berasal dari kelompok etnis minoritas Hazara, banyak diantaranya terlihat seperti orang-orang Mongolia, dengan mata almond dan hidung yang datar, agar berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat Afganistan lainnya.
Shaida, yang bekerja sebagai polisi wanita, melakukan bedah plastik setelah melihat beberapa teman dan rekannya mengubah bentuk hidung dan mata mereka.
"Sekarang, saya memiliki hidung yang lebih besar, saya merasa lebih nyaman dan puas," kata Shaida seraya tersenyum.
Dua ahli bedah di klinik tersebut melakukan dua kali bedah plastik setiap minggu, selain operasi rutin untuk tujuan medis atau penyembuhan.
Kebanyakan bedah plastik dilakukan di bawah anastesi setempat untuk menghemat biaya. Dan untuk memperbesar hidung, daripada menggunakan silikon, dokter memilih memotong tulang rawan dari tulang rusuk, mengukirnya dengan bentuk yang sesuai dan menggunakannya.
Biaya untuk memperbesar hidung sekitar 300 dolar, melebihi gaji sebulan untuk kebanyakan warga Afganistan, tapi karena tergusurnya rezim Taliban 11 tahun lalu, masuknya bantuan miliaran dolar, telah memunculkan kelas menengah yang berkembang.
Mereka terkena tren di Iran, Dubai, dan negara-negara Eropa, yang bersedia membayar sejumlah uang untuk bedah plastik untuk alasan kecantikan.
Hamkar bercerita tentang seorang perempuan berusia 18 tahun, yang suaminya mengeluh setelah kembali dari Dubai untuk bekerja. Suami itu mengatakan payudara sang istri mengendur dan berbeda dengan yang dia lihat di luar negeri, sehingga suaminya tidak menginginkannya lagi.
Perempuan tersebut seorang konservatif dan mengalami pemberontakan di Afganistan Timur, dia menikah, memiliki anak dan menyusui.
"Sekarang, bagi saya, yang telah bekerja sebagai ahli bedah plastik selama bertahun-tahun, melihat kasus-kasus seperti ini di negara lain bukan hal baru, tapi ini adalah sesuatu yang baru di Afganistan," kata dokter tersebut.
"Suaminya melakukan perjalanan ke kota yang lebih terbuka seperti Dubai, mungkin dia melihat keindahan fisik perempuan, setelah dia kembali ke rumah, dia tidak menyukai bentuk fisik istrinya dan bahkan menyetujui untuk datang ke dokter bedah plastik," kata Hamkar.
Menurut Hamkar, banyak orang yang persepsinya berubah tentang hidup dan seks ketika kembali dari perjalanan ke tempat yang lebih konservatif.
Mohammad Ibrahim, mantan perwira tentara, yang anaknya ingin membuat hidung lebih kecil karena mereka adalah keluarga dari etnis Tajik, mengatakan setuju dengan bedah plastik semacam itu, karena akan membuatnya merasa lebih baik.
"Kembali ke '60an dan '70an, pemerintah kemudian mendorong agar kita belajar budaya yang berbeda, dan bahkan sebagai pegawai pemerintah, negara membantu kami melakukan perjalanan ke berbagai negara. Tapi perang setelah invasi Soviet pada 1979 dan meningkatnya kekuasaan Taliban, mengurangi pemuda dan hak asasi manusia kita," kata Ibrahim.
"Sekarang kita menikmati demokrasi dan saya tidak ingin anak perempuan saya merasa jelek dan terisolasi. Itulah mengapa saya menyetujui dia datang ke sini, jadi dia memiliki hidung yang lebih baik dan merasa senang," kata Ibrahim.
(S038/A/H-RN)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012