Dua prajurit kami mati syahid dan tiga orang ditangkap."

Khartoum (ANTARA News) - Satu-satunya kelompok yang menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Sudan hari Kamis menuduh militer melancarkan serangan mematikan terhadap mereka.

"Kemarin, pasukan Gerakan Keadilan dan Kebebasan (LJM) diserang oleh SAF (Angkatan Bersenjata Sudan) di dekat El Fasher," kata ketua LJM Eltigani Seisi dalam sebuah pernyataan kepada wartawan, lapor AFP.

"Dua prajurit kami mati syahid dan tiga orang ditangkap," katanya.

Pasukan penjaga perdamaian di Darfur memperingatkan pada Oktober bahwa pelaksanaan perjanjian perdamaian 2011 antara LJM dan pemerintah telah menemui kebuntuan, namun ini adalah bentrokan pertama yang dilaporkan tahun ini antara kedua pihak.

Seisi mengatakan, dua kendaraan LJM ditempatkan di dekat El Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, selama 10 hari "dan SAF sangat mengetahuinya". Namun, kendaraan-kendaraan itu masih juga diserang, katanya.

Media resmi kemudian mengumumkan, pasukan membunuh dua anggota Front Revolusi, sebuah aliansi pemberontak Sudan yang mencakup gerilyawan utama Darfur yang menolak menandatangani perjanjian perdamaian Darfur yang dicapai di Doha.

Kantor berita SUNA mengatakan, pasukan menyita dua kendaraan Front Revolusi dan roket yang akan digunakan untuk menyerang El Fasher.

"Itu bohong. Pasukan yang diserang kemarian adalah pasukan LJM," kata Seisi, yang juga pejabat tinggi Darfur.

Ia memimpin Otoritas Daerah Darfur yang dibentuk sebagai semacam badan pemerintah yang melaksanakan perjanjian Doha yang didukung oleh Uni Afrika, PBB dan Liga Arab.

Seisi mengatakan, LJM melakukan kontak dengan para pejabat dan meminta mereka menghentikan informasi bohong ini, serta mendesak UNAMID menyelidiki insiden tersebut.

Bentrokan-bentrokan antara pasukan Sudan dan gerilyawan masih terus berlangsung di Darfur meski misi penjaga perdamaian terbesar dunia UNAMID ditempatkan di wilayah Sudah barat itu.

Misi PBB-Uni Afrika di Darfur (UNAMID), yang kini berjumlah 23.500 orang dan merupakan misi penjaga perdamaian terbesar di dunia, ditempatkan di Darfur, Sudan barat, sejak 2007 untuk berusaha mengakhiri permusuhan antara pemberontak dan pemerintah Sudan.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan. Pemerintah Khartoum menyebut jumlah kematian hanya 10.000.

Pemerintah Sudan menandatangani sebuah perjanjian perdamaian sponsoran Qatar dengan sebuah aliansi kelompok pemberontak tahun lalu, namun kelompok-kelompok besar menolaknya.

Kelompok gerilya utama Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menolak perjanjian itu, yang ditandatangani Sudan dan Gerakan Keadilan dan Kebebasan (LJM), sebuah kelompok pemberontak lain di Darfur.

JEM adalah satu dari sejumlah kelompok Darfur yang memberontak pada 2003 untuk menuntut otonomi lebih luas bagi wilayah barat yang gersang itu. Mereka kini dianggap sebagai kelompok pemberontak yang paling kuat di Darfur.

Perpecahan di kalangan pemberontak dan pertempuran yang terus berlangsung menjadi dua halangan utama bagi perundingan perdamaian yang berlangsung sejak 2003 di Chad, Nigeria dan Libya, sebelum pindah ke Doha.

Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) yang bermarkas di Den Haag mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar al-Bashir pada 2009 atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat. Bashir juga dituduh melakukan genosida dalam surat perintah penangkapan selanjutnya.

Bashir telah membantah tuduhan-tuduhan pengadilan Den Haag dan menyebutnya sebagai bagian dari konspirasi Barat untuk menjatuhkannya. Surat perintah penangkapan itu merupakan yang pertama dikeluarkan pengadilan internasional tersebut terhadap seorang kepala negara yang aktif. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012