Jakarta (ANTARA News) - Ketua majelis hakim mengingatkan Marisi Matondang karena telah memberikan keterangan berbelit-belit ketika bersaksi dalam persidangan kasus korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2008, dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, di Jakarta, Kamis.
"Majelis ingatkan saksi untuk memberikan kesaksian yang sesungguhnya, kalau Anda mengatakan tidak benar akan ada sanksinya," kata ketua majelis hakim Tati Hardiyanti kepada Marisi, manajer administrasi PT Anugrah Nusantara, perusahaan milik suami Nenang, M Nazaruddin.
Marisi dinilai memberikan keterangan berbelit-belit terkait dengan kedudukan Neneng yang tidak diakui sebagai direktur keuangan PT Anugerah Nusantara, meski saksi dalam sidang sebelumnya yaitu mantan direktur operasional marketing Permai Grup Mindo Rosalina Manulang mengatakan Neneng menjabat sebagai direktur keuangan.
"Mengapa kenal terdakwa hanya sebagai istri Nazaruddin dan ibu rumah tangga padahal di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) disebut sebagai direktur keuangan? Di sidang sebelumnya Mindo Rosalina mengatakan bahwa Neneng adalah direktur keuangan," tanya hakim Tati.
Marisi yang juga menjabat sebagai direktur utama PT Mahkota Negara (perusahan yang masuk dalam Anugerah Grup) tersebut mengaku ia tidak pernah menyatakan hal itu saat diperiksa penyidik KPK.
"Pemilik PT Mahkota Negara adalah Anas Urbaningrum dan Nazaruddin, saya menjadi direktur hanya sebagai syarat di notaris, inisiatifnya berasal dari Anas dan Nazar, tapi saya tidak pernah menyatakan bahwa Bu Neneng adalah direktur keuangan," ungkap Marisi yang bekerja sejak 2006 di PT Anugerah Nusantara itu.
Menurut Marisi, Anas Urbaningrum dan M Nazaruddin menjadi komisaris, sedangkan Amin Handoko adalah direktur PT Anugerah Nusantara yang masih satu kelompok dengan PT Mahkota Negara.
"Anas tidak memimpin rapat tapi tahu mengenai proyek PLTS, karena saya melaporkan mengenai hal itu," kata Marisi.
Terkait proses keikutsertaan PT Anugerah Nusantara dalam pemasangan PLTS di Depnakertrans, Marisi mengaku bahwa inisiatif poryek tersebut dimulai pada September 2008.
"Setelah saya membaca iklan di koran Media Indonesia, saya melapor ke Anas, Nazar dan Rosa mengenai proyek PLTS, selanjutnya kami bagi tugas yaitu Neneng mengurus masalah teknis dan saya administrasinya," kata Marisi.
Ia selanjutnya mengurus pendaftaran empat perusahaan di bawah PT Anugerah Nusantara seperti PT Alfindo Nuratama Perkasa, PT. Nuratindo Bangun Perkasa, PT. Mahkota Negara dan PT. Taruna Bakti Perkasa ke Depnakertrans.
"Inisiatifnya dari Rosa, saya diminta Rosa untuk mencari perusahaan untuk didaftarkan di Depnakertrans," kata Marisi.
Kesaksian tersebut berbeda dengan keterangan Rosa pada sidang Selasa (4/12) yang mengungkapkan bahwa Marisi lah yang mengurus seluruh perusahaan yang dipinjam benderanya untuk diikutsertakan dalam tender PLTS.
Marisi juga mengatakan bahwa seluruh urusan keuangan hanya diurus oleh Yulianis yang menjabat sebagai Wakil Direktur Keuangan
"Keuangan di kantor yang mengerjakan Yulianis," jelas Marisi.
Mantan karyawan PT Anugerah Nusantara lainnya yang juga bersaksi, Dedi Ivandi, mengatakan bahwa masalah keuangan perusahaan tersebut semuanya diurus oleh Yulianis.
Menanggapi hal itu, hakim Tati mempertanyakan isi BAP Dedi yang mengatakan bahwa Neneng pada 2008 pernah memanggil Dedi untuk menambah gajinya.
"Itu hanya saat pertama saya masuk kerja, selanjutnya tidak pernah lagi," kata Dedi.
Neneng didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda Rp1 miliar.
Neneng bersama sejumlah pihak lain dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp5,27 miliar.
Ia dan suaminya, Nazaruddin, terpidana kasus Wisma Atlet Nazaruddin dianggap menikmati uang sebesar Rp2,2 miliar dari hasil selisih pembayaran Depnakertrans kepada pemenang tender PLTS yaitu PT Alfindo.
Sedangkan Direktur PT Alfindo Nuratama Perkasa (ANP) Arifin Ahmad mendapat uang sebesar Rp40 juta sebagai realisasi pengayaran "fee" atas peminjaman dokumen perusahaan PT ANP, pihak-pihak lain yang menerima aliran dana proyek tersebut adalah Pejabat Pembuat Komitmen Depnaktertrans Timas Ginting sebesar Rp77 juta dan 2 ribu dolar AS, Direktur Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan (PSPK) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Depnakertrans Hardy Benry Simbolon sebesar Rp5 juta dan 10 ribu dolar AS.
Masih ada Ketua panitia pengadaan PLTS Sigit Mustofa Nurudin sebesar Rp10 juta dan seribu dolar AS, anggota panitia pengadaan PLTS Agus Suwahyono sebanyak Rp2,5 juta dan 3.500 dolar AS, anggota panitia pengadaan Sunarko sebesar Rp2,5 juta dan 3.500 dolar AS dan terakhir Direktur PT Nuratindo Bangun Perkasa sebesar Rp2,5 juta.
(D017)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012