Jakarta (ANTARA News) - Tombol digital penunjuk temperatur yang ada di kompas yang melekat di mobil malam itu, Minggu 28 Mei 2006, menunjukkan angka 28 derajad celcius. Sementara itu, di luar hujan turun cukup deras, sesekali petir dan kilat pun muncul bergantian memecah kebekuan malam. Angin malam yang sesekali berhembus membawa rasa dingin menembus tulang. Malam itu, dengan hujan, angin, kilat dan petir, sungguh bukanlah suatu perpaduan yang ideal untuk berada di luar rumah. Namun, bagi sebagian besar korban gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengisi malam yang dingin dengan kehangatan rumah hanya mimpi semata. Malam itu setelah gempa sebesar 5,9 skala Richter yang mengguncang Samudra Hindia pada Sabtu, 27 Mei 2006, maka keinginan untuk melewatkan dinginnya malam dengan secangkir kopi panas, beberapa potong camilan dan acara komedi di stasiun televisi adalah sebuah kemewahan. Sejak rumah-rumah mereka luluh lantak, tidak ada lagi tempat untuk berteduh bagi warga yang selamat. Bantuan pemerintah yang belum juga datang membuat banyak warga terpaksa bernaung di bawah tenda-tenda darurat berbahan plastik atau terpal dan beralaskan tikar atau koran bekas. "Seadanya karena ini bangunan darurat, apa yang kami punya kami pakai," kata Mudjiono (50) warga Bantul, Yogyakarta. Bersama dengan tetangga satu kampungnya dia harus tinggal berdesakan di bawah tenda terbuat dari tikar dan beralas kardus bekas. Oleh karena peralatan yang sangat terbatas maka tidak semua orang beruntung untuk tidur di bawah tenda. Tenda hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan, anak-anak, dan manula. Para lelaki lebih banyak tidur beratapkan langit dengan alas seadanya. Di hari ke dua pasca gempa, penderitaan warga seakan makin bertambah, jika di hari pertama mereka terpaksa menahan dinginnya angin malam yang menusuk tulang maka hari kedua mereka juga harus berjuang melawan hujan. Hujan yang turun semenjak sore hari seakan menutup mata terhadap penderitaan para warga tersebut. Jika sebelumnya mereka berharap kehangatan rumah, maka kini impian mereka hanyalah malam yang kering tanpa hujan. "Hujan membuat dinginnya tidak tertahan, bagi kami kaum lelaki mungkin tidak terlalu masalah, tapi tidak tega rasanya melihat istri dan anak-anak kami," kata pria paruh baya itu. Sementara itu, tetangga desa Mudjiono, Nurianti (28), mengaku bahwa hujan yang mengguyur sepanjang sore membuat anaknya yang berusia delapan tahun gelisah. "Rewel sekali, bajunya juga sedikit basah, tapi tidak ada pakaian ganti," katanya. Dalam segala keterbatasan, warga hanya dapat duduk saling berhimpit dalam tenda sementara yang bocor di sana-sini. "Tadi sebelum hujan menjadi deras kami buat bendungan di sekitar tenda agar air hujan tidak langsung menuju tenda," kata Sadi (23) yang di malam yang dingin dan basah itu hanya mengenakan kaos tanpa lengan bergambar tim sepakbola Italia dan celana biru sebatas lutut. Baju itulah yang dikenakan sejak Sabtu, yaitu ketika dia terbangung dari tidur dan langsung menyelamatkan diri dari reruntuhan bangunan akibat gempa. Sejauh mata memandang warga korban gempa rata-rata memang hanya mengenakan pakaian sederhana yang merupakan pakaian satu-satunya yang mereka miliki. Kaum perempuan tampak mengenakan daster batik -- gaun santai panjang bermotif batik -- yang memang merupakan pakaian sehari-hari, anak-anak memakai pakaian tidur, sedangkan para lelaki berkaos dan celana pendek atau sarung. Oleh karena gempa terjadi sekitar pukul 05.52 WIB, maka sebagian besar warga masih dalam keadaan tertidur, sehingga mereka tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelamatkan harta bendanya. Itulah sebabnya di malam yang dingin tersebut hanya sedikit orang yang dapat berlindung di balik selimut penahan dingin. "Tidak ada selimut sama sekali. Kami harap ada bantuan selimut segera karena itu adalah hal yang penting untuk mengatasi dingin," kata Pardjo (43). Selain bahan makanan dan obat-obatan, warga juga berharap dapat memperoleh bantuan selimut. "Kami juga butuh bantuan pakaian untuk mengganti pakaian yang sudah kami gunakan sejak kemarin," kata Nur lagi. Menurut Sadi, tidak mungkin mereka dapat membangun rumah dalam waktu singkat sehingga dalam beberapa hari mendatang pasti akan masih bertahan di tenda. Oleh karena itu kebutuhan akan selimut dirasa sangat penting untuk melawan dinginnya malam. Masa darurat Sementara itu, Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, pada Minggu (28/5) menyatakan lima hingga tujuh hari masa gawat darurat di Yogyakarta. Pada masa-masa itu, kata dia pemerintah akan menfokuskan diri pada masalah penanganan, pengobatan, dan evakuasi korban meninggal yang belum ditemukan ataupun korban luka-luka. Masa gawat darurat, kata dia, diberlakukan karena masih banyak korban meninggal yang belum terevakuasi dari reruntuhan bangunan dan korban luka-luka yang belum mendapatkan perawatan semestinya. Oleh karena itu dia berharap agar pihak rumah sakit memberikan penanganan maksimal kepada semua korban. Dalam masa gawat darurat itu pemerintah akan memfasilitasi pendirian tenda lapangan, pembongkaran bangunan, dapur umum serta semua hal yang terkait dengan manajemen bencana. Menurut catatan stasiun Geofisika Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, gempa berskala 5,9 skala richter itu adalah gempa tektonik bukan vulkanik jadi bukan merupakan ulah Gunung Merapi. Keterangan lebih lanjut menyebutkan bahwa gempa terjadi di lepas pantai Samudra Hindia, posisi episentrum pada koordinat 8,26 Lintang Selatan dan 110,33 Bujur Timur atau istilah mudahnya terletak pada jarak 38 kilometer selatan Yogyakarta. Gempa tersebut terjadi akibat tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia pada jarak sekitar 150-180 kilometer ke selatan garis pantai Pulau Jawa, sehingga terasa sampai Lampung. Di Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah korban gempa tercatat telah mencapai lebih 4.000 orang meninggal --data Senin (29/5) -- dan ribuan bangunan serta infrastruktur rusak. Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan berkantor di Gedung Agung, Yogyakarta, untuk memantau penanganan gempa sekalipun belum ada pernyataan pemerintah yang menetapkan gempa itu sebagai bencana nasional. Sedangkan Mudjiono terus menatap tetesan air hujan yang membasahi areal persawahan tidak jauh dari "rumah" sementaranya berdiri. "Kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau kapan dapat memperoleh rumah kami kembali tapi setidaknya kami harus berjuang melewatkan malam dahulu," kata Mudjiono lirih, sambil berlndung dari hujan dengan berteduh di bawah tenda. (*)
Oleh Oleh GUsti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2006