Hong Kong (ANTARA) - Saham Asia goyah pada awal perdagangan Selasa, karena investor bergulat dengan kekhawatiran inflasi setelah pemotongan mengejutkan target produksi minyak grup OPEC+, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS turun setelah data sektor manufaktur AS yang lemah.
Pengumuman pada Minggu (2/4/2023) tentang pemotongan target produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, mendorong harga minyak lebih tinggi dan memperumit prospek inflasi. Minyak mentah Brent naik 0,5 persen menjadi 85,39 dolar AS per barel, setelah melonjak lebih dari 6,0 persen semalam.
Investor juga menilai data ekonomi Senin (3/4/2023), yang menunjukkan aktivitas manufaktur AS pada Maret merosot ke level terendah dalam hampir tiga tahun karena pesanan baru anjlok, dan analis mengatakan aktivitas dapat menurun lebih lanjut karena kondisi kredit yang lebih ketat.
"Tren pelemahan telah terjadi sejak Mei tahun lalu, tetapi gejolak perbankan baru-baru ini mungkin semakin merusak kepercayaan," kata analis ANZ dalam sebuah catatan.
"Manufaktur adalah salah satu sektor ekonomi yang paling sensitif terhadap suku bunga karena barang-barang seperti mobil terutama dibeli secara kredit. Terus ada berita menggembirakan tentang inflasi barang-barang."
Di awal hari Asia, indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang diperdagangkan stabil. Indeks saham Nikkei Jepang terangkat 0,24 persen, sementara indeks S&P/ASX 200 Australia naik tipis 0,1 persen.
Indeks CSI 300 saham-saham unggulan China turun tipis 0,16 persen pada awal perdagangan, sementara indeks Hang Seng Hong Kong dibuka 0,64 persen lebih rendah.
Pada Senin (3/4/2023), kenaikan saham energi membantu mengangkat indeks saham dunia menyusul pemotongan produksi baru grup OPEC+ yang mengejutkan yang dapat mendorong harga minyak menuju 100 dolar AS per barel.
Indeks sektor energi S&P 500 melonjak 4,9 persen dengan Chevron Corp, Exxon Mobil Corp dan Occidental Petroleum Corp semuanya menguat lebih dari 4,0 persen.
Namun, prospek biaya minyak yang lebih tinggi menambah kekhawatiran inflasi di Wall Street hanya beberapa hari setelah bukti penurunan harga meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve AS akan segera mengakhiri kampanye pengetatan moneter yang agresif.
Dow Jones Industrial Average naik 0,98 persen, S&P 500 naik 0,37 persen dan Komposit Nasdaq turun 0,27 persen.
Pengamat pasar telah mencoba untuk mengukur berapa lama lagi Fed mungkin perlu terus menaikkan suku bunga untuk mendinginkan inflasi dan apakah ekonomi AS mungkin menuju resesi.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS mundur, setelah data manufaktur AS meningkatkan ekspektasi bagi beberapa investor bahwa Fed akan memangkas suku bunga akhir tahun ini karena ekonomi melambat. Data terpisah juga menunjukkan belanja konstruksi AS melemah pada Februari.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun terakhir di 3,4263 persen dibandingkan dengan penutupan AS 3,432 persen pada Senin (3/4/2023).
Imbal hasil dua tahun, yang naik bersama ekspektasi pedagang akan suku bunga dana Fed yang lebih tinggi, menyentuh 3,9841 persen dibandingkan dengan penutupan AS sebesar 3,98 persen.
Dolar membalikkan beberapa kerugian tetapi tetap defensif setelah melemah pada Senin (3/4/2023) menyusul data ekonomi AS yang lemah.
Indeks dolar AS yang melacak greenback terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama lainnya, terakhir naik di 102,11. Euro menyentuh lebih tinggi pada 1,0904 dolar, sementara terhadap yen Jepang, dolar turun 0,09 persen pada 132,35.
Emas sedikit lebih rendah. Emas spot diperdagangkan pada 1.982,19 dolar AS per ounce.
Baca juga: Saham Asia naik di kuartal pertama, tetap mewaspadai inflasi
Baca juga: Saham Asia menuju kenaikan kuartalan kedua, jelang data inflasi AS
Baca juga: Saham Asia menuju keuntungan kuartalan karena ketakutan bank mereda
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023