Jakarta (ANTARA) - Sejumlah asosiasi petani kelapa sawit menolak kebijakan Uni Eropa yang memberlakukan Undang-undang anti deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) karena dinilai akan merugikan ekspor produk sawit ke EU.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEK-PIR), SAMADE (Sawitku, Masa Depanku), Santri Tani Nahdlatul Ulama menuntut dicabutnya EUDR.

"UU Deforestasi Eropa harus dicabut tidak ada revisi, petani sawit tidak Ingin tawar-menawar, harus dicabut," Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Pada 6 Desember 2022 Komisi Uni Eropa sudah menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang anti deforestasi EUDR (EU Deforestation Regulation)

Ketentuan ini akan mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa (UE) untuk tidak membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan dimana salah satu pasalnya mengelompokkan sawit sebagai tanaman beresiko tinggi.

Undang-undang tersebut berlaku untuk sejumlah komoditas, antara lain minyak kelapa sawit, ternak, coklat, kopi, kedelai, karet dan kayu. Ini juga termasuk beberapa produk turunan, seperti kulit, cokelat, dan mebel.

"Ketentuan itu tentu saja sangat mempengaruhi salah satu produk andalan Indonesia yaitu kelapa sawit," ujar Gulat Manurung.

Menurut dia, sebenarnya Indonesia sudah memiliki sistem sawit berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sejak 2011 dan dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) tahun 2019.

Selain itu, tambahnya, semua pelaku usaha tani baik korporasi maupun petani sawit diwajibkan memiliki ISPO melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO.

Di ISPO sebelumnya hanya korporasi yang diwajibkan (mandatory), sementara petani sawit tadinya hanya sukarela (voluntary). Demikian juga dengan sertifikasi RSPO yang sudah cukup banyak diadopsi oleh korporasi.

Namun demikian petani yang berhasil lolos mendapatlan sertifikasi ISPO per tahun 2022, baru 24.388 hektar atau 0,35% dari luas total lahan sawit petani 6,87 juta hektar.

“Memang ini menjadi masalah besar karena batas wajib ISPO untuk petani dan korporasi sudah dipatok oleh pemerintah di tahun 2025. Namun demikian yang perlu dicatat adalah semangat pemerintah dalam mencapai dan menuju sawit Indonesia berkelanjutan,” ujar Gulat.

Apalagi mengingat sawit merupakan pemasukan negara tertinggi khususnya pada 5 tahun terakhir dan sawit merupakan simbol kejayaan ekspor negara Indonesia. Wajar pemerintah sangat serius dengan upaya sawit berkelanjutan ini.

Menurut dia, seharusnya Uni Eropa cukup dengan mempertegas wajib sertifikasi bagi minyak sawit yang memasuki negara-negara UE, dengan memilih salah satu sertifikasi baik ISPO atau RSPO.

Tidak perlu menerbitkan EUDR, karena sesungguhnya EUDR juga sudah terakomodir melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan bahkan sangat tegas dalam pola ruang peruntukan pemanfaatan lahan.

Menurut dia pernyataan sawit tanaman beresiko tinggi dalam EUDR adalah antithesis atas upaya Indonesia menuju keberlanjutan sawit.

Namun dalam perjalanan ISPO dan RSPO, justru produk minyak sawit yang sudah berhasil meraih sertifikat ISPO dan RSPO tidak terserap habis oleh pasar global. Bahkan hanya 60% dari produksi yang bersertifikasi ISPO atau RSPO.

“Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya bagi kami petani sawit. CPO yang bersertifikasi sustain saja tidak terserap, untuk apa malah menerbitkan peraturan baru EUDR?” tanya Gulat.

Baca juga: Airlangga sebut setop ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa bukan pilihan

Baca juga: Indonesia ajak Malaysia bernegosiasi soal ekspor CPO ke Eropa

Pewarta: Subagyo
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023