Proses produksi yang tidak efisien membuat produk pertanian lokal sulit bersaing dengan produk impor
Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang berfokus pada efisiensi proses produksi guna memenuhi ketersediaan pangan.
"Proses produksi yang tidak efisien membuat produk pertanian lokal sulit bersaing dengan produk impor yang diciptakan lewat proses produksi yang efisien, sehingga kualitasnya lebih baik dan harganya lebih terjangkau," kata Peneliti CIPS Azizah Azizah Fauzi saat konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Efisiensi proses produksi tersebut, salah satunya dapat dilakukan melalui modernisasi dan transfer teknologi.
Azizah juga menyarankan pemerintah untuk menyederhanakan rantai pasok karena panjangnya rantai produksi turut berdampak pada penambahan harga pangan.
"Selain itu, faktor domestik yang menyebabkan tingginya harga pangan harus diatasi melalui kebijakan seperti peningkatan penelitian dan pengembangan, akses ke input yang berkualitas dan perbaikan serta pembangunan infrastruktur pendukung pertanian," ucapnya.
Hal itu, lanjutnya, sangat penting dilakukan untuk meningkatkan daya saing. Jika daya daya saing produk pertanian meningkat, maka akan mendorong terbukanya akses pasar.
Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan upaya konsisten untuk menciptakan dan menjaga iklim bisnis investasi dan persaingan usaha di Indonesia.
Tak hanya itu, keterbukaan terhadap perdagangan internasional juga dinilainya perlu untuk meningkatkan efisiensi proses dan prosedur perdagangan agar tidak memakan biaya dan waktu.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa tingginya harga beberapa komoditas pangan akan semakin melemahkan daya beli masyarakat dan semakin memperkecil keterjangkauan masyarakat pada pangan, terutama yang tergolong berpenghasilan rendah.
"Kestabilan harga bukan lagi menjadi satu-satunya yang menentukan keterjangkauan masyarakat terhadap pangan. Pemerintah perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli," tuturnya,
Data Food Monitor dari CIPS menunjukkan, tren peningkatan harga pangan di tingkat konsumen selama satu tahun terakhir dapat terlihat pada komoditas jagung, beras medium II dan kedelai impor.
Pada periode Januari 2022-Januari 2023, peningkatan harga terbesar terjadi pada komoditas kedelai impor dengan peningkatan sebesar 22,95 persen.
Sepanjang Januari 2022 hingga Januari 2023, harga kedelai impor di tingkat konsumen konsisten mengalami peningkatan. Kenaikan harga kedelai impor mencapai puncaknya pada Januari 2023 yang mencapai Rp15.356 per kg.
Kenaikan harga selanjutnya terjadi pada beras medium II sebesar 8,62 persen dan jagung sebesar 3,15 persen. Sementara itu, harga beras medium II di tingkat konsumen secara umum juga naik. Kenaikan harga beras medium II mencapai puncaknya pada Januari 2023 yang mencapai Rp12.600 per kg.
Khawatir kenaikan harga pangan secara terus menerus dapat mempengaruhi konsumsi nutrisi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga ia pun meminta pemerintah turut memastikan bahwa pangan dapat diakses oleh seluruh rumah tangga Indonesia.
"Kenaikan harga pangan, bahkan beberapa di antaranya sudah terjadi sejak akhir 2022, menunjukkan adanya stimulus yang terjadi di rantai pasok. Ketersediaan pangan yang mencukupi perlu menjadi fokus untuk memastikan pangan dapat diakses oleh rumah tangga Indonesia," ucap dia.
Baca juga: Jaga ketersedian, Bapanas masifkan gerakan pangan murah di daerah
Baca juga: BRIN: Teknologi jadi solusi optimalkan sektor pertanian di Indonesia
Baca juga: Harga sejumlah bahan pangan di Jakarta naik pada pekan pertama puasa
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2023