Surabaya (ANTARA) - "Foto erupsi Gunung Agung ini benar ya?" tanya saudara dari Jakarta pada awal tahun 2017, yang meragukan kebenaran tayangan video/narasi/foto dari "tetangga sebelah". Pertanyaan yang mirip juga mengalir terus dari teman dan saudara sampai detik ini.

Kegelisahan saudara dan rekan/teman saat "berselancar" di era digital yang membuatnya "kehilangan keseimbangan" itu melatarbelakangi terbitnya buku "Kesalehan Digital" (CV Penerbit Campustaka, Jakarta, 2023, Gramedia Grup) yang disusun Edy M Ya'kub, wartawan LKBN ANTARA, itu.

Tidak hanya pertanyaan, bahkan ada juga rekan yang memilih keluar dari sejumlah akun media sosial (medsos), yakni Facebook (FB), Instagram (Ig), dan akun lainnya. Alasannya, dirinya justru menjadi sasaran hack/retas, spam, dan hoaks.

Dunia maya memang berpotensi menciptakan jebakan yang menjadi perangkap manipulasi dengan berbagai bentuk, seperti video lama yang dimunculkan lagi, atau video dari lokasi lain yang dinarasikan seolah terjadi di dekat kita.

Selain itu pula, video dan foto yang diberi narasi yang berbeda, dengan tempelan atau dubbing, foto/video yang merupakan potongan, narasi versus narasi, tapi tidak imbang, narasi hoaks dengan mengaduk emosi SARA dan lainnya.

Secara teoritis, bentuk jebakan manipulasi dalam jebakan digital itu dapat disederhanakan dalam 4 pola, yakni mis-informasi, dis-informasi, hoaks, dan mala-Informasi. Mis-informasi, dis-informasi, dan hoaks memang informasi keliru, sedangkan mala-informasi merupakan "pembelokan" informasi.

Kegelisahan akibat adanya jebakan digital itulah yang menjadi tema pembahasan Bab 1 pada buku ini, yakni "Dunia Maya = Dunia Gosip", karena Orang Indonesia tergolong suka gosip dan hal itu "difasilitasi" dunia digital untuk menyebar luas.

Materi gosip yang paling sering menjadi trending topic bagi orang Indonesia itu pun tidak jauh dari isu "kesukaan" Orang Indonesia, yakni isu SARA (suku/etnis, agama, ras/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin) dan isu politis (soal beda pilihan politik, bukan soal negara/bangsa), namun kadang juga ada isu viral yang "ngeri" (kesehatan, artis, kriminalitas).

Masalahnya, jebakan digital yang bersifat bohong atau pembelokan itu juga berdampak fatal (fatalitas), yakni merusak karakter.


12 fatalitas karakter

Penulis menemukan 12 fatalitas jebakan digital yang mempengaruhi karakter seseorang, yakni 4 fatalitas jebakan logika (seolah-olah logis, tapi tidak benar), 4 fatalitas jebakan viral (viral, tapi belum tentu benar), dan 4 fatalitas jebakan positif (viral dan bermanfaat).

Ada contoh untuk 12 fatalitas jebakan digital dan contoh dampak fatalnya. Pertama, "menjadi radikal/keras/Khilafers/Wahabi". Dosen UINSA M Ainur Rofiq Al Amin dalam buku "Kontra Narasi Melawan Kaum Khilafers" mencontohkan "logika" HTI membenturkan Islam dengan Pancasila, mana yang paling baik antara Islam dan Pancasila? (Hal. 36).

Tentu, kaum milenial yang awam akan menjawab Islam, kemudian HTI mengajak untuk memakai Islam dan meninggalkan Pancasila, padahal "logika" HTI itu salah besar, karena Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi, tentu tidak pas membandingkan agama dengan ideologi. Tentu, "logika" begitu dalam kajian agama di dunia digital pun menjebak hingga mencetak sosok radikal.

Kedua, contoh jebakan digital yang menjebak untuk "menjadi sesat/kafir (Salafi/Wahabi/Anti-Madzhab)" karena "miskin" ilmu. Misalnya, anti-madzhab/anti-agama karena tidak tahu "ilmu" yang benar, seperti tidak mau hormat bendera, padahal bagaimana dengan ritual mencium Hajar Aswad (batu) saat beribadah haji? Itu sok tahu madzhab Imam Syafii, tapi hanya potongan-potongan.

Ketiga, contoh fatalitas jebakan logika digital terkait "korban siber (peretasan/pembobolan bank/hacker)" adalah peretas FB, ATM dan HP yang canggih, seperti Alberandi alias Randi (26) yang meraup uang Rp300 juta dari membobol ATM di beberapa bank di Sulsel, Sulut, Sultra, Kaltim, dan Bali, lalu ditangkap Polda Sulsel (Hal. 52-53). Tahun 2022 ada Bjorka dan Tahun 2023 ada aplikasi APK.

Keempat, fatalitas kriminalitas digital juga terjadi, baik kriminalitas keuangan (pinjol/"crazy rich"/flexing/judi online, investasi bodong) maupun non-keuangan (pelecehan digital/cabul/ pedofilia). Sepintas mungkin logis, namun semuanya ilegal alias tipuan.

Fatalitas kriminalitas digital dari sektor keuangan pernah diungkap Polresta Denpasar (24/8/2022) berupa judi daring dengan omzet Rp1,3 miliar yang beroperasi selama Juli-Agustus 2022 dengan 14.800 anggota.

Untuk kriminalitas non-keuangan, antara lain kejahatan seksual berjejaring internasional, seperti diungkap konsultan kehumasan dan pemerhati media di Surabaya Vonny Wiyani yang mencatat ada WNI menjadi predator seksual di Inggris (2020). Ada yang menggunakan video untuk pemerasan. Ada juga fenomena flexing.

Kelima, contoh fatalitas dalam konteks viral terkait Viral untuk Gaduh/Panik (SARA oriented). Contoh, kartun Nabi Muhammad di Denmark. Hal itu terkait dengan "pilkada lokal" di Denmark, ada calon yang membuat kartun Nabi di buletin. Kasus sudah selesai dan pilkada lokal juga sudah selesai, tapi ada yang mengunggah di FB, sehingga mendunia dan terjadi demonstrasi dimana-mana, memprotes Pemerintah Denmark, meski kasusnya sendiri sudah selesai.

Keenam, contoh fatalitas jebakan "Viral untuk Bisnis" terkait Sindikat Saracen dan Muhammad Kece. Tanpa disadari, ada kepentingan bisnis dalam viral. Saracen merupakan grup pembuat berita hoaks. Pada Agustus 2017, polisi menangkap tiga pengelola akun Saracen (J, FMT, SRN) yang memanfaatkan isu SARA Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dengan jasa website Rp15 juta, jasa buzzer (15 orang) Rp45 juta, dan jasa ketua Saracen Rp10 juta.

Ketujuh, contoh viral sepihak terkait klaim kebenaran ala FPI/JHTI/Salafi yang tanpa data, seperti klaim komedian Pandji Pragiwaksono dengan komentar "lucu" di jagat maya (20/1/2021), yang menyebut NU dan Muhammadiyah itu jauh dari masyarakat, sedangkan FP* (Front Pembela Islam) selalu ada saat dibutuhkan masyarakat, karena itu langkah pemerintah membubarkan FPI itu dinilai tidak tepat.

Padahal, kegiatan sosial FPI sangat kecil dibandingkan dengan NU-Muhammadiyah, tapi FPI sangat aktif di dunia maya, sehingga kelihatan banyak, padahal NU di Jawa Timur saja memiliki 12.347 sekolah/madrasah, apakah hal itu bukan membantu masyarakat dan sekaligus membantu pemerintah? Selain itu, Pandji juga budayawan.

Kedelapan, viral un-control yang bermula dari persoalan privat yang viral antar-medsos hingga isunya meluas tanpa kendali. Contohnya, ada kericuhan akibat emosi sesaat dalam proses pemilihan ketua umum ormas pemudi di Jakarta (15/8/2022), karena peserta jengkel melihat pimpinan sidang, maka terjadi lemparan kursi. Nah, kericuhan itu ada yang merekam hingga menyebar dari akun ke akun, sehingga ormas ramah itu pun di-bully.

Kesembilan, dampak fatalitas yang positif juga ada, seperti permainan atau "games" yang viral di dunia digital (aplikasi) yang berdampak phubbing (kecanduan gawai), karena masyarakat Indonesia dalam sehari saja tercatat bermain atau "membakar waktu" dengan games dalam waktu rata-rata 10 jam. Dampaknya adalah kecanduan gawai dengan sikap tak peduli.

Kesepuluh, dampak fatalitas digital positif yang lain adalah mampu membongkar kasus sensitif (konten sensitif yang jarang di media umum), sehingga jebakan digital juga berdampak positif dalam mempercepat pengungkapan kasus sensitif yang berisiko sangat riskan bila dilakukan oleh media massa konvensional, seperti kasus kasus Ferdy Sambo, kasus perburuan hacker/peretas Bjorka, dan sebagainya.

Kesebelas, dampak positif dari fatalitas jebakan digital yang lain lagi adalah gotong royong digital (jejaring kemanusiaan/donasi digital). Contohnya, gerakan di YouTube untuk membantu kakek lumpuh/Banyuwangi-Malang (donasi 14 jutaan). Namun, bisa juga gotong royong kemanusiaan digital yang negatif, seperti Kasus ACT (separo lebih dari donasi Rp7,1 triliun disalahgunakan untuk ISIS).

Keduabelas, fatalitas jebakan digital juga berdampak pada kemasan informasi yang lebih entertainment/menarik atau mampu mengemas kekunoan dengan format kekinian, seperti sekolah/pendidikan digital, bekerja secara digital, birokrasi layanan digital, ekonomi/industri digital, kesehatan digital, digitalisasi budaya tradisional menjadi kekinian, dan artificial intelligence (AI).

Artinya, jebakan digital itu lebih banyak berdampak negatif (8 jebakan) daripada dampak positif (4 jebakan), atau digital lebih merusak karakter, karena kemajuan yang ada hanya kemajuan teknologi/digital, bukan kemajuan karakter.

Solusi kesalehan d igital

Untuk itulah, buku ini menawarkan solusi agar dunia digital memberikan dampak positif yang lebih banyak. Apalagi, seorang peneliti asing menyimpulkan orang Indonesia itu sangat ramah di dunia nyata, tapi tidak di dunia maya (DCI/indeks keadaban online/2020).

Secara sederhana, solusi menyikapi jebakan digital yang merusak karakter itu dirumuskan penulis dalam buku "Kesalehan Digital" (Hal. 87-97) dengan merujuk Ilmu hadits dalam menelusuri kesahihan sebuah informasi, yang dipadukan penulis dengan ilmu jurnalistik, menjadi tiga rumus kesalehan digital, yakni sanad, matan, dan rawi.

Sanad adalah informasi yang memiliki narasumber pertama yang kompeten, sedangkan matan adalah isi yang sahih atau akurat, dirumuskan Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar melalui tiga proses "tabayyun/klarifikasi" yakni ber-sanad, adil/objektif, dan ukhuwah/kebersamaan/positif.

Terkait UKHUWAH disebutkan bahwa Islam sesungguhnya tidak mengajarkan atau tidak memberi peluang sedikit pun untuk berpikir negatif, karena konten negatif tapi salah adalah fitnah (membunuh), sedangkan konten negatif tapi benar adalah ghibah (makan bangkai), bahkan konten negatif tapi terus menerus adalah muflis (bangkrut di dunia-akhirat), sedangkan konten positif sama-sama mendapat pahala, yakni salah mendapat 1 pahala dan bila benar mendapat 2 pahala.

Untuk rawi (media penyampai/perawi/sumber media), rujukannya adalah media terverifikasi (badan hukum/Dewan Pers/KemenkumHAM/organisasi profesi), media ter-standar (tim redaksi/UU Pers, UU ITE, UU organisasi, UKW), dan media ber-referensi (berbasis data).

Artinya, informasi yang tanpa sanad, matan, dan rawi adalah Informasi yang tidak saleh. Kalau informasi yang tidak saleh itu dipaksakan, maka ada lima risiko, yakni muflis/bangkrut; dosa ganda (fitnah) karena dibagikan lintas grup (medsos) dan abadi meski pelaku wafat; jauh dari rahmat (tidak mendapat pahala); cacat kepercayaan di dunia maya dengan sosok "berwajah ganda" dan bermentalitas kolot, dan terlibat merusak demokrasi.

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta Masduki, S.Ag., M.Si menyatakan musuh media adalah orang media sendiri yang merusak idealisme media dengan viral, traffic/algoritma, bukan verifikasi. Itu didukung teknologi, platform digital, medsos, hingga para pembonceng, seperti buzzer atau influencer. Hasilnya, informasi yang tidak berkualitas menurunkan kepercayaan publik hingga 39 persen (merusak demokrasi).

Jadi, kata kunci "kesalehan digital" adalah sanad (narasumber/ kompeten), matan (konten dengan klarifikasi objketif, dan ukhuwah), dan rawi/media (terverifikasi Dewan Pers dan terstandar organisasi profesi pers), sehingga teknologi boleh maju, tapi karakter juga harus maju. Bukan teknologi yang maju, tapi karakter justru purbakala.

"Jangan menjadikan digital sebagai sumber ilmu utama, melainkan sebagai media informasi saja, tetap mengaji (belajar) ke madrasah (lembaga/yayasan pendidikan/pesantren)," kata Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri, ulama muda asal Jeddah, Arab Saudi, yang mengungkap kasus kartun Nabi di Denmark.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023