Jakarta (ANTARA) - Konsultan neurologi anak Prof. Dr. dr. Irawan Mangunatmaja Sp.A(K) mengatakan serangan kejang atau epilepsi yang berlangsung lama dapat mengganggu perkembangan otak dan motorik kasar pada anak.
"Sebagian besar epilepsi tidak menyebabkan kematian, hanya serangan kejang yang berlangsung lama atau sering itu dapat mengganggu perkembangan otaknya dan terutama mengganggu perkembangan motorik kasarnya, sedangkan kalau bahaya kematian biasanya karena faktor lain biasanya dia kejang lalu tersedak jadi meninggal," ucap Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa.
Secara klinis, Irawan menjelaskan epilepsi juga bisa menyebabkan menurunnya fungsi kognitif karena kejang yang berlangsung lama. Namun tidak jarang juga ada pasien yang mengidap epilepsi bisa hidup normal, meskipun dalam beberapa keadaan tertentu ia bisa terserang kejang mendadak.
Dari pengertian yang ia sampaikan, epilepsi merupakan suatu gejala permulaan tanpa penyebab awal. Epilepsi bisa terjadi jika anak ada gejala demam atau gangguan elektrolit yang menyebabkan kejang berulang dengan interval lebih dari 24 jam.
Baca juga: Guru Besar FKUI: Perlu paradigma baru tangani kasus epilepsi anak
Baca juga: Mulut berbusa bukan satu-satunya tanda epilepsi
Anak bisa dikatakan menderita epilepsi jika mengalami kejang yang berulang dari hari ke hari tanpa penyebab pasti dan terdapat suatu sindrom yang bisa diketahui jika melakukan pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG).
Elektroensefalogram (EEG) adalah salah satu tes yang dilakukan untuk mengukur aktivitas kelistrikan dari otak untuk mendeteksi adanya kelainan dari otak. Dari tes ini dapat membantu dokter untuk menentukan gejala epilepsi yang dialami anak dan menentukan diagnosis yang tepat.
“Pada anak-anak yang epilepsi dengan EEG normal itu bukan berarti diagnosisnya tidak ada, tapi itu menyatakan bahwa anak itu mempunyai harapan besar untuk lebih terkontrol dibandingkan kalau EEG-nya ada kelainan,” jelasnya.
Dokter yang menamatkan pendidikan S3 nya di Universitas Indonesia (UI) ini mengatakan epilepsi bukan termasuk penyakit keturunan. Namun jika dalam anggota keluarga atau saudara kandung ada yang pernah menderita epilepsi, kemungkinan besar anak juga bisa menderita epilepsi meskipun kemungkinannya masih sedikit.
Orang tua bisa bantu mengenali tanda-tanda epilepsi pada anak dengan melihat dua gejala khas dari epilepsi yaitu gejala fokal dan gejala umum. Gejala fokal terdapat kekhasan tersendiri yaitu jika terjadi kejang hanya satu sisi tubuh saja yang bergerak berulang.
Sementara gejala umum adalah jika anak menderita kejang yang ditandai kaku seluruh tubuh, tersentak seperti kaget, atau melamun sambil mengucap kata yang tidak jelas.
Terdapat juga beberapa perbedaan yang termasuk kejang karena epilepsi atau kejang biasa, yaitu pertama jika kejang epilepsi serangannya selalu mendadak dan tiba-tiba. Kedua, kejang epilepsi akan berulang dan dengan Gerakan yang sama, berbeda jika bukan kejang bisa terjadi saat sedang aktif ataupun saat santai.
Selain itu, kejang epilepsi juga bisa dilihat dari arah mata pasien, umumnya mata akan membelalak ke atas jika kejang fokal atau ke samping kiri atau kanan. Jika sudah terjadi serangan, epilepsi hanya berlangsung beberapa menit, jika sudah lebih dari 10 menit kemungkinan bukan kejang.
“Dan terpenting adalah dilakukan pengamatan atau perekaman semalaman Jadi pada waktu serangan nanti dilihat pada gelombang EEG dan sesuai dengan lokasinya maka itu kejang, tapi kalau kejang itu oleh karena kemungkinan lain maka biasanya pada EEG-nya tidak muncul gelombang, mungkin yang muncul hanya perlambatan pada suatu daerah,” ucap Irawan.
Irawan juga menganjurkan untuk segera dilakukan pemeriksaan otak jika anak pertama kali mengalami kejang sehingga bisa diketahui dengan cepat apakah ada gangguan di otaknya melalui pemeriksaan EEG paling lambat 2x24 jam setelah serangan terjadi.
Pengobatan pasien epilepsi
Epilepsi secara umum terdapat 80 persen pasien yang bisa sembuh total, namun masih memerlukan pengobatan. Epilepsi yang diobati dengan baik bisa menurunkan intensitas kejang dan beratnya serangan sehingga kualitas hidup anak tetap terpenuhi.
Irawan juga menyarankan kepada orang tua untuk selalu berkonsultasi dan berhubungan baik dengan dokter anak yang menangani epilepsy agar bisa terus memantau kondisi kejang anak dengan baik. Selain itu, orang tua juga harus melaporkan kepada dokter jika anak mengalami kejang dalam waktu tidak lebih dari satu minggu agar dokter dapat memberikan pengobatan yang dapat menurunkan frekuensi kejangnya.
“Jadi dokter anak kalau punya pasiennya kejangnya lebih dari 10 atau masih banyak maka harapan saya adalah memberikan nomor telepon anda kepada pasiennya kemudian beritahukan bahwa dalam satu minggu akan menaikkan dosisnya karena dengan cepat menaikkan dosis obat tersebut kualitas anak itu akan lebih baik,” ucapnya.
Penggunaan obat epilepsy terdapat dua jenis yaitu obat 2 tahun bebas kejang dengan kemungkinan kejang berulang 13 persen dan 1 tahun bebas kejang dengan kemungkinan berulang 50 persen. Dokter juga akan memantau efek samping dari penggunaan obat selama 3-4 bulan sekali melalui pemeriksaan laboratorium.
Baca juga: Selain obat, diet lemak bisa bantu kontrol kejang
Baca juga: Kementerian Sosial bantu bocah penderita epilepsi di Brebes
Baca juga: Ahli: epilepsi bukan penyakit kutukan
Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023