“Presiden sah mewakili umat Islam Indonesia, tetapi Jawaharlal Nehru itu sah nggak mewakili umat Islam India? Mao Tse Tung apakah sah mewakili Islam di China? Kepala negara non-Muslim apakah sah menjadi wakilnya umat Islam? Alhamdulillah, jawabannya sah dari segi isinya karena tidak bertentangan syariat sesuai dengan maqashid syariat,” ujar Gus Yahya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Ia menuturkan bahwa Piagam PBB sah dari segi penandatanganan karena melibatkan entitas politik yang sah secara de facto dan de jure (fakta dan hukum).
“Mereka sah secara niscaya karena kepala negaranya dianggap sah. Walaupun non-Muslim, mereka sah mewakili warga negara Muslim,” ucapnya.
Gus Yahya menegaskan bahwa Piagam PBB ini sah dengan titik tolak imperatifnya adalah perdamaian yang secara syariat adalah sah.
Baca juga: Ketum PBNU: Piagam PBB bisa jadi sumber hukum bagi Muslim
Baca juga: PBNU segera bahas Piagam PBB di Muktamar Internasional Fikih Peradaban
“Kalau tidak ada itu, ya tidak ada landasannya. Tanpa landasan itu, kita semua wajib perang,” kata Gus Yahya.
Isi perjanjian Piagam PBB itu sendiri bagi Gus Yahya lebih bersifat visioner ketimbang sesuatu yang langsung diterapkan. Piagam PBB merupakan visi walaupun belum bisa sepenuhnya diterapkan untuk saat ini.
Oleh karena itu, menurutnya, sebuah tugas bagi semua pihak untuk melanjutkan imperatifnya. Jika Piagam PBB diterima sebagai kesepakatan, maka tentu harus ada imperatif ikutan.
Dalam perspektif Islam, katanya, sudah ada landasan syariat tentang kenapa tidak boleh bermusuhan dengan kelompok yang berbeda, yaitu perjanjian ini.
“Harapannya ke depan wawasan terkait ini bisa dikembangkan lebih lanjut dan dijabarkan ke dalam berbagai produk akademik yang kita perlukan, termasuk bahan ajar untuk anak-anak kita,” kata Gus Yahya.
Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak untuk mempersiapkan generasi selanjutnya dalam mengemban misi perdamaian. Dengan demikian, misi perdamaian tersebut tidak hidup dalam mulut manis para imam dan pendeta saja, tetapi hidup dalam diri seluruh umat beragama.
“Mulai hari ini, bisa kita siapkan untuk anak-anak kita sehingga visi perdamaian tidak hanya mulut manis dari para imam dan pendeta saja, tetapi hidup dari umat beragama,” ujarnya.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika menghadiri Seminar Nasional Bertema "Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban sebagai Solusi Krisis Tata Dunia Global". Kegiatan ini diselenggarakan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023