Saya tidak punya pilihan lain, kecuali harus pulang meninggalkan suami dan anak-anak

Beijing (ANTARA) - "Mama ... mama ..!"

Seorang bocah kecil memegang erat-erat jaket yang dikenakan ibunya tatkala tim dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing memasuki halaman sebuah rumah di pelosok desa di wilayah timur China.

Meskipun dipanggil berkali-kali, sang ibu sama sekali tak menggubrisnya karena sedang serius mendengarkan arahan dari tim yang diketuai Atase Imigrasi KBRI Beijing Raden Fitri Saptaji.

"Begitu nanti saya beri SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor), kamu harus segera pulang," kata Fitri mengingatkan.

Ucapan yang berarti perintah itu sama sekali tidak mendapatkan tanggapan dari lawan bicaranya yang mulai terusik oleh rengekan si bocah berusia 3 tahun itu.

"Kamu ngerti nggak?" tanya Fitri dengan nada bicara mulai meninggi.

Sambil mengangkat anaknya ke pangkuannya, perempuan itu menganggukkan kepala.

Mar, demikian nama panggilan perempuan berusia 25 tahun tersebut, jelas mengerti instruksi yang disampaikan Atase Imigrasi.

Tatapan matanya yang kosong menunjukkan kebimbangan yang sangat mendalam.

Suaminya, yang bekerja sebagai petani, terus menguntitnya sejak dari tempat tinggalnya hingga menuju rumah keluarga Dedeh di Desa Xinyang yang jauh dari pusat Kota Dezhou, Provinsi Shandong.

Dedeh, perempuan asal Subang, Jawa Barat, merelakan rumah yang ditinggali bersama suaminya di Desa Xinyang, sebagai tempat untuk pengambilan foto dan data biometrik Mar. Kedua mertuanya yang penduduk asli desa itu memberikan sambutan yang luar biasa kepada tim KBRI Beijing dengan menyuguhkan beraneka ragam jenis makanan.

Saat tim KBRI Beijing melakukan persiapan pengambilan foto diri Mar untuk keperluan penerbitan SPLP, sang suami tak mau jauh-jauh dari sang istri. Entah sengaja atau tidak, pria itu bersembunyi di balik layar putih yang berfungsi sebagai latar foto sang istri.

Kedatangan tim KBRI yang jauh-jauh melakukan perjalanan lebih dari 1.000 kilometer dari Beijing dan Qingdao pada Minggu (26/2/2023) itu bagaikan pisau bermata dua bagi Mar.

Dengan mendapatkan SPLP, mimpi Mar untuk bisa bertemu kedua orang tua di Tanah Air yang merindukannya sejak lama segera terwujud dalam waktu dekat.

Namun dokumen perjalanan berbentuk buku kecil berwarna hijau itu akan memisahkan Mar dari suami dan kedua anak yang dilahirkannya dalam jangka waktu yang tidak menentu.

Boleh jadi, Mar akan bernasib sama dengan pengantin-pengantin pesanan lainnya yang dalam 5 tahun terakhir menjadi batu sandungan dalam kerangka kemitraan strategis komprehensif Indonesia-China.

Pengantin pesanan sudah lama menjadi pembicaraan serius di tingkat menteri antar-kedua negara. Meskipun jumlah kasusnya sudah berkurang secara signifikan, setidaknya dalam 3 tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19 melanda, fenomena pengantin pesanan masih saja terjadi.

Mar salah seoranf di antara deretan kasus pengantin pesanan yang tersisa.

Tidak sedikit pengantin pesanan yang melarikan diri dan meminta perlindungan di KBRI Beijing karena merasa sudah tidak tahan hidup menderita bersama suaminya yang berkewarganegaraan China.

Kalau pun harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil, Mar bukanlah perempuan Indonesia pertama yang tega melakukan hal itu. Sudah tidak terhitung lagi di antara para pengantin pesanan rela meninggalkan darah dagingnya sendiri di China lantaran kebahagiaan hidup bersama suami seperti yang diidamkannya tak kunjung nyata.

Atase Imigrasi KBRI di Beijing Raden Fitri Saptaji (kanan) mengambil sidik jari seorang warga negara Indonesia bermasalah di Desa Xingyang, Kota Dezhou, Provinsi Shandong, China, yang mengajukan permohonan Surat Permohonan Laksana Paspor (SPLP), Minggu (26/2/2023). ANTARA/M. Irfan Ilmie


Pilihan Hidup

Bagi sebagian perempuan Indonesia, pengantin pesanan menjadi pilihan hidupnya, terlebih untuk memperbaiki kondisi perekonomian keluarga di kampung halaman.

Tidak ada paksaan untuk menjadi pengantin pesanan. Mereka pun mengenal calon suaminya dan bersepakat untuk tinggal bersama di China. Perkenalan dengan calon suami tergolong singkat. Begitu kedua calon mempelai cocok, maka proses pernikahan pun bisa dilangsungkan, tentunya dalam tempo singkat juga. Proses administrasi untuk pengurusan visa juga dipercepat agar mempelai pria yang datang ke Indonesia bisa segera membawa pulang istri yang baru dinikahinya itu ke kampung halamannya di China.

Fenomena pengantin pesanan ini ada karena faktor supply and demand. Pria yang kebanyakan dari pelosok desa di China membutuhkan pendamping yang standar hidupnya biasa-biasa saja, sedangkan mempelai perempuan terdesak materi agar bisa menutupi kebutuhan finansialnya.

Untuk mendapatkan pendamping hidup dari Indonesia, mereka rela merogoh kocek dalam-dalam. Pria China yang mayoritas bekerja di ladang itu bersedia mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah agar bisa membawa pulang perempuan idamannya dari Indonesia itu. Sayangnya, uang sebanyak itu tidak dinikmati sendiri oleh mempelai perempuan dan orang tuanya.

Ada makelar di dunia pengantin pesanan. Merekalah yang mendapatkan porsi terbesar dari uang para lelaki China pemburu istri berkewarganegaraan Indonesia itu. Biaya administrasi, visa, dan tiket pesawat menuju kampung halaman si mempelai pria juga mengambil porsi yang tidak sedikit.

Dengan adanya uang, semua urusan menjadi lancar.

Mar yang lahir dan besar di gemerlapnya Ibu Kota Jakarta bersedia dinikahi pria kampung di pelosok China, mungkin juga, karena terobsesi derajat hidupnya kelak akan terangkat. Obsesi itulah yang mengalahkan akal sehat Mar.

Hanya bermodalkan visa kunjungan singkat, pada tahun 2017, Mar yang masih berusia 19 tahun rela meninggalkan kedua orang tuanya di Jakarta Barat demi si pria idamannya itu.

Padahal Mar tidak pernah tahu di mana dia akan tinggal dan apa mata pencaharian suaminya itu.

Sembilan belas tahun bukanlah usia yang sah bagi Mar untuk melangsungkan pernikahan di China. Di sinilah masalah itu bermula. Aparat setempat menangkapnya atas tuduhan pelanggaran ganda karena selain belum cukup umur untuk menikah, izin tinggalnya telah melewati batas waktu yang ditentukan.

Otoritas setempat telah memberikan kesempatan kepada Mar agar mengurus dokumen yang dibutuhkan. Namun tak satu pun dari keluarga Mar di Indonesia yang bersedia membantunya sehingga sampai memiliki dua anak pun jalan menuju legalitas pernikahannya tak ada ujungnya dan justru berakhir dengan deportasi.

Perempuan yang mengaku sempat kabur dari rumah suaminya itu memang tidak disel seperti kebanyakan overstayer lainnya. Kepolisian Dezhou memberikan kesempatan kepada Mar tinggal bersama suaminya sambil menunggu pihak KBRI Beijing menerbitkan SPLP yang bisa digunakan untuk pulang.

"Saya tidak punya pilihan lain, kecuali harus pulang meninggalkan suami dan anak-anak," ucapnya lirih di tengah kegalauan sang suami yang duduk di sampingnya.









Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023