China dan Rusia yang saling merapat menjadi mitra strategis ... bakal mereduksi hegemoni dan dominasi AS
Jakarta (ANTARA) - Tampilan diplomasi China pada era Perang Dingin lalu yang terkesan introvert atau tertutup, kini sudah berubah total. Bahkan, negeri Tirai Bambu itu proaktif dalam memediasi konflik di negara-negara lain.
Presiden Xi Jinping menemui Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Kremlin, Moskwa (20/3) dalam forum informal untuk memediasi solusi damai Perang Rusia vs Ukraina yang sudah berlangsung sejak invasi negara Beruang Merah itu pada 24 Februari 2022.
Seperti dikutip AFP dan Reuters, Presiden Putin sendiri menyatakan dirinya siap untuk bernegosiasi secara terbuka terkait proposal damai yang diajukan Beijing untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Prakarsa perdamaian juga pernah dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai keketuaan RI pada G20 pada 2022 dengan menemui Presiden Putin di Moskow dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kyiv pada akhir Juni 2022.
Bagi China sendiri, seperti diucapkan Presiden Xi, lawatannya ke Rusia kali ini menandai momentum baru hubungan bilateral yang “sehat dan stabil” bagi kedua negara bertetangga itu.
Di tengah berkecamuknya perang di Ukraina, hubungan China dan Rusia saling menguntungkan, misalnya, di bidang ekonomi, saat ekspor minyak dan gas Rusia diembargo oleh Uni Eropa (EU), China bersedia menampungnya.
Rusia memerlukan lebih banyak devisa untuk membiayai perang di Ukraina sehingga embargo impor gas dan minyak yang diberlakukan UE cukup merepotkan Rusia. Di pihak lain, China, juga diuntungkan karena dapat membelinya dengan harga diskon.
China dan Rusia yang saling merapat menjadi mitra strategis dalam konteks geopolitik global diprediksi juga bakal mereduksi hegemoni dan dominasi Amerika Serikat, tercermin dari latihan militer gabungan yang digelar Rusia dan China.
Menurut catatan, hubungan Uni Soviet dan China memburuk bahkan seolah-olah “putus kongsi” sejak awal Perang Dingin sekitar tahun 1956 terkait perbedaan paham dalam implementasi ideologi komunis antar-kedua negara itu.
Perselisihan antara China dan Soviet sebagai garda terdepan gerakan komunis dunia memuncak pada 1961, saat Beijing secara terbuka menganggap rezim Soviet sebagai “rezim revisionis pengkhianat”. Perpecahan berlanjut hingga Soviet runtuh Desember 1991.
Damaikan Arab Saudi dan Iran
Bertepatan dengan pelantikan Xi-Jinping untuk periode jabatan presiden ketiga kalinya di Balai Agung, Beijing 10 Maret lalu, Arab Saudi dan Iran berdamai sebagai hasil mediasi China.
Riyadh dan Teheran, setelah putus hubungan sejak 1996, merilis naskah komunike bersama memuat kesepakatan pemulihan hubungan diplomatik dengan membuka kedubes masing-masing.
Dari foto-foto dan tayangan video media resmi Iran, tampak Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani dan Penasehat Keamanan Nasional Saudi Mussad bin Mohammed Al-Aiban serta Direktur Komisi LN Komite Pusat Partai Komunis China Wang Yi dalam perundingan selama empat hari itu.
Rujuk antara Iran dan Saudi merupakan terobosan dan kejutan atas kebuntuan politik di kawasan Timur Tengah selain peristiwa penting lain seperti Revolusi Iran dan Perjanjian Damai Camp David antara Mesir dan Israel (1979), Perjanijan Oslo antara Israel dan Palestina (1993), dan Gerakan Arab Spring (2010-2011).
Iran dan Saudi sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini bersaing dalam perebutan hegemoni kawasan dan dukung-mendukung para pihak yang berkonflik, antara lain, di Irak, Lebanon, Suriah, dan Yaman.
Dalam konflik di Yaman, misalnya, Saudi terlibat langsung dengan mengirimkan pasukan untuk mendukung rezim Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi melawan pemberontak milisi etnis Houthi.
Pasukan Saudi terlibat langsung di Yaman, melancarkan serangan udara dan memblokade posisi-posisi Houthi. Sebaliknya, rudal-rudal Scud (eks-Soviet) yang beberapa kali ditembakkan oleh milisi Houthi menimbulkan korban di wilayahnya.
Puncak konflik antara Iran dan Arab Saudi berujung pemutusan hubungan diplomatik pada 2016 dipicu aksi massa Iran ke Kedubes Saudi di Teheran dan konsulatnya di Kota Mashad untuk memprotes hukuman mati terhadap tokoh Syiah Saudi, Sheikh Nimr-al Nimr.
Beda aliran agama antara mayoritas warga Saudi yang menganut Islam Sunni, sebaliknya Iran yang menganut paham Islam Syiah, melatarbelakangi dukung-mendukung kedua negara pada kelompok-kelompok aliran tersebut di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Sukses memediasi Iran dan Saudi--apalagi jika disusul dengan keberhasilan menghentikan perang Ukraina--bakal menjadi capaian kredit poin tinggi bagi diplomasi China, sebaliknya pudarnya peran dan dominasi AS di Timur Tengah.
Kehadiran pangkalan-pangkalan dan pasukan AS di negara-negara Teluk, yang semula diperlukan oleh negara-negara kecil tapi kaya di kawasan itu menghadapi potensi ancaman Iran dan Irak, tentu tidak diperlukan lagi.
RI yang menganut politik bebas aktif dan ikut melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia yang abadi sesuai Pembukaan UUD 1945, tentu akan mendukung setiap upaya perdamaian dan tak akan terseret-seret di pusaran hegemoni AS dan China.
*) Nanang Sunarto adalah mantan Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi Kantor Berita ANTARA
*) Pandangan dan pendapat yang dikemukakan pada artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA
Copyright © ANTARA 2023