Memiliki anak yang terlahir spesial atau dengan kebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah, kata Kartini kepada ANTARA melalui pesan singkat pada Rabu. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua yang masih merasa kecewa, malu, bahkan tidak mau mengakui keberadaan anaknya yang berbeda dengan kebanyakan anak normal lainnya.
"Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus diharapkan dapat menerima keadaan anaknya tersebut. Penerimaan dan keikhlasan para orang tua dapat mendukung tumbuh kembang anak dengan baik," kata Kartini.
Baca juga: Kekuatan mental orang tua diuji saat rawat anak down syndrome
Lebih lanjut, dia mengatakan, adanya penolakan terhadap anak justru akan menghambat tumbuh kembang mereka. Hal ini dikarenakan anak tidak mendapatkan perhatian dan perlakuan yang baik dan maksimal dari orang tua. Padahal anak-anak down syndrome memerlukan perhatian lebih dari orang tuanya.
Menurut Kartini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyusun strategi berupa peta jalan layanan kesehatan inklusi disabilitas dan program layanan Kesehatan anak penyandang disabilitas.
Meski begitu, imbuh dia, Kemenkes tidak dapat bergerak sendiri. Dibutuhkan peran semua pihak untuk mendukung layanan inklusi disabilitas, termasuk peran seluruh kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, lembaga non-pemerintah organisasi penyandang disabilitas, organisasi profesi kedokteran, serta keluarga dan institusi pendidikan.
Kartini mengatakan Kemenkes juga telah mencoba melakukan berbagai upaya promotif, perventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam pelayanan kesehatan anak penyandang disabilitas, salah satunya yaitu kolaborasi dengan Kementerian Sosial (Kemensos) sejak 2022 berhubungan dengan rehabilitasi penyandang disabilitas untuk meningkatkan kemandirian melalui kegiatan RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat).
Selain itu, upaya lain juga termasuk peningkatan kualitas hidup anak disabilitas yang dilakukan secara komprehensif dimulai dari hulu di mana upaya pencegahan terjadinya jumlah kelainan bawaan serta tatalaksana atau penanggulangan pada kelainan bawaan yang terjadi.
Menurut Kartini, pelayanan kesehatan secara umum pada penderita down syndrome sama seperti semua anak penyandang disabilitas termasuk terkait pembiayaan beberapa pelayanan sudah ditanggung BPJS Kesehatan. Namun terapi wicara, terapi okupasi dan fisioterapi masih terbatas, mengingat perlu tenaga dengan pendidikan khusus.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, prevalensi penyandang down syndrome sebesar 0,3 persen atau sekitar 52 ribu anak usia 12–59 bulan yang menderita down syndrome. Masih besarnya angka prevalensi ini menjadi salah satu tantangan dalam pemenuhan hak kesehatan penderita down syndrome.
Kartini mengatakan anak perlu menjadi prioritas intervensi mengingat prognosis dan optimalisasi potensi masih bisa dilakukan di masa anak. Akan tetapi, di sisi lain, sumber daya manusia (SDM) pelayanan disabilitas anak dinilai masih kurang mulai dari ketersediaan dokter anak, neurolog, spesialis fisik dan rehablitiasi medik, dan seterusnya.
Menurut catatan Kemenkes, tenaga kesehatan terkait anak dengan disabilitas yaitu 5.226 dokter spesialis anak dengan 109 RSUD masih belum memiliki spesialis anak, 2.471 neurolog, 1.031 spesialis fisik dan rehablitiasi medik, 2.540 spesialis mata, 2.094 spesialis THT, 1.512 psikiater, 2.444 psikolog klinis, 16.412 fisioterapis, 1.785 terapis okupasi, 1.838 terapis wicara, dan terapis perilaku (belum terdata).
Baca juga: Keluarga membantu anak "down syndrome" tumbuh kembang secara optimal
Baca juga: Hari Down Syndrome Sedunia jadi momentum ciptakan dunia yang inklusif
Baca juga: Pemerintah diharapkan memaksimalkan pemenuhan hak anak "down syndrome"
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023