Padang (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) menegaskan praktik korupsi yang dilakukan seorang kepala daerah lebih mengarah pada perilaku dan tidak berkaitan dengan tata kelola keuangan negara.
"Operasi tangkap tangan oleh KPK ini adalah perilaku, bukan tata kelola keuangan negara," kata anggota VII BPK RI Hendra Susanto saat memberikan Kuliah Umum di hadapan civitas akademika Universitas Andalas dengan mengusung tema "Tacit Knowledge Developing Leadership and Capabilities to Achieve Your Ultimate Goals", di Padang, Selasa.
Hendra mengambil contoh OTT (operasi tangkap tangan) yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut terhadap mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pada 26 Februari 2021.
Dalam kasus itu, lanjut dia, eks Gubernur Sulawesi Selatan tersebut meminta sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan fasilitas dari Nurdin Abdullah.
"Berarti itu adalah perilaku, bukan tata kelola keuangan negara," ujar peraih Bintang Kartika Eka Paksi Pratama tersebut.
Menurut dia, apabila seorang kepala daerah, baik bupati, wali kota maupun gubernur melakukan maladministrasi, proses pelelangan yang salah, spesifikasi pekerjaan kurang dari ketentuan dengan indikator lebih dari lima persen, maka tidak akan meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Ia mengatakan suatu daerah yang mendapatkan temuan BPK lebih dari ambang batas lima persen dari total belanja daerah, maka hanya akan meraih opini wajar dengan pengecualian (WDP).
"Kemudian, apabila ditemukan adanya unsur pidana BPK akan menyampaikan kepada lembaga penegak hukum untuk ditindaklanjuti," ujarnya.
Oleh karena itu juga, kata Hendra, setiap auditor BPK dituntut kreatif mencari berbagai informasi apakah terjadi penyimpangan tata kelola keuangan negara, baik di pemerintah kabupaten dan kota maupun di pemerintah provinsi.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2023