Ancaman boikot pajak sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap penyelewengan oknum pajak atau korupsi hasil pajak bisa menjadi bumerang sekaligus merugikan masyarakat.
"Penyeleweng (pajak) yang kita tangkap. Tapi, jangan kita suruh negara tidak bekerja dengan memboikot pajak," kata pengamat ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Radja Silalahi, menanggapi kritik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap penyelewengan pajak dan kasus-kasus korupsi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Pertengahan September lalu, Ketua PBNU Said Aqil Siroj menyatakan aspek hukum membayar pajak sengaja diangkat dalam musyawarah nasional organisasi itu di Cirebon agar pemerintah membenahi sektor perpajakan secara serius dan menghapus kasus korupsi pajak.
"Kalau tidak dibenahi dengan sungguh-sungguh, kita akan benar-benar menyerukan moratorium, paling tidak kepada warga NU," kata Said Aqil kala itu.
Penyelewengan pajak oleh Wajib Pajak dan sejumlah oknum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, menurut Pande Radja, terjadi karena sistem pemungutan pajak berasaskan self-assessment, yaitu Wajib Pajak mengisi sendiri perhitungan penghasilannya.
"Risiko yang dihadapi para petugas pajak dan pemerintah adalah menerima laporan dan harus meninjaunya. Tapi, menurut saya memang lebih banyak dipengaruhi faktor manusianya," kata Pande Radja.
Meskipun NU mengangkat kasus-kasus penyelewengan pajak dan korupsi hasil pajak sebagai isu serius dalam musyawarah nasionalnya, Said Aqil menegaskan pernyataannya bukanlah ajakan pembangkangan kepada negara.
"Jadi ini peringatan keras agar perpajakan dibenahi secara sungguh-sungguh," kata Said Aqil pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
Sementara, Ditjen Pajak menyatakan institusinya akan memberikan sanksi tegas berupa denda kepada Wajib Pajak jika menunda pembayaran pajak atau mengikuti anjuran boikot pajak.
"(Sanksi) bukan dari petugas pajaknya. Tindakan tegas tetap berdasarkan hukum. Kalau melanggar hukum (Undang-undang Perpajakan) ya (tugas) aparat hukum," kata Pande Radja.
Pande justru mempertanyakan alasan dan tujuan pihak-pihak yang mengajak masyarakat memboikot pajak karena penyelenggaraan pemerintahan dan negara tidak dapat berjalan tanpa pajak dan berujung pada kerugian masyarakat sendiri.
"Kontrol (itu) perlu, seperti kritik yang dilakukan NU. (Kritik) itu supaya petugas pajak pajak mawas diri. Tapi, kalau ada yang mengatakan 'bakar saja lumbungnya' itu pemikiran gila," kata Pande Radja.
Pernyataan Pande tentang kritik NU kepada Ditjen Pajak itu sejalan dengan maksud Said Aqil agar pajak yang dikumpulkan dari rakyat dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Kalau semua itu dijalankan, kata Said Aqil, NU pasti mendukung aturan yang mewajibkan pembayaran pajak, bahkan mendorong kalangan nahdliyin agar tidak lalai membayar pajak.
Ditjen Pajak menyatakan secara filosofis kewajiban membayar pajak juga merupakan bentuk partisipasi warga negara yang setara dengan hak dan kewajiban lain dalam upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UUD 1945.
Narasumber: Pande Radja Silalahi: Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012