koordinasi harus lebih nyata dalam bentuk mekanisme pengarusutamaan dan tata-hubungan kerja yang efektifJakarta (ANTARA) - Kelestarian hutan dapat terwujud lewat tata kelola manajemen kehutanan yang terhantar dengan baik hingga ke tingkat tapak melalui sinergi dan koordinasi yang terukur, kata Dosen Ahli Universitas Gadjah Mada Dr.Ir. Agus Setyarso M.sc.
"Lestari adalah jika pertumbuhan hutan mampu terus menerus menyediakan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Sedangkan berkelanjutan memiliki makna jika dari manfaat yang diambil mampu untuk menyelenggarakan dan membiayai pembangunan pada periode berikutnya," kata Agus Setyarso dalam diskusi media memperingati Hari Hutan Internasional di Jakarta, Senin.
Agus menjelaskan bahwa tata kelola kehutanan meliputi tata kebijakan, tata instrumentasi pelaksanaan kebijakan, tata pengaturan sumber daya yang berkenaan dengan kepentingan publik dan barang publik, tata-peran para pihak, serta tata distribusi manfaat privat yang diperankan oleh Pemerintah Pusat, Daerah, pihak swasta, dan masyarakat dalam arti luas, termasuk masyarakat internasional.
"Kehutanan adalah ranah bermain bagi semua orang ibarat pemain sepakbola yang masuk ke sebuah lapangan dengan membawa bola sendiri-sendiri. Setiap pihak pasti memiliki kepentingan," ungkapnya.
Baca juga: Menteri LHK jelaskan pembaruan tata kelola lingkungan-kehutanan di G20
Baca juga: Presiden: hutan Indonesia terluas kesembilan di dunia
Area permainan tersebut, kata Agus, meliputi eco-regions, ekosistem, lanskap hutan, kawasan hutan menurut fungsi (konservasi, lindung, produksi) , kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, dan area penggunaan lain (APL).
"Jenis permainannya meliputi sektor ekonomi, ekologi, sosial, dan hukum. Lalu bagaimana menjaga permainan yang sportif dan cantik? Jawabannya adalah melalui sinergi dan koordinasi," paparnya.
Karena itu ia menilai bahwa kepentingan publik tidak pernah selesai hanya dengan satu lembaga/kementerian melainkan melalui sinergi dan koordinasi lintas sektor pihak-pihak tersebut. Di lain sisi, sinergi dan koordinasi tersebut harus terukur dan terasa dampaknya bagi khalayak.
"Harus ada sinergi dan koordinasi antara Kehutanan, desa, pemerintah daerah, dan lembaga adat sebagai penilaian kinerja kehutanan. Selain itu, koordinasi harus lebih nyata dalam bentuk mekanisme pengarusutamaan dan tata-hubungan kerja yang efektif," kata Agus.
Baca juga: KLHK sebut PIPPIB untuk perbaiki tata kelola hutan dan gambut
Area permainan tersebut, kata Agus, meliputi eco-regions, ekosistem, lanskap hutan, kawasan hutan menurut fungsi (konservasi, lindung, produksi) , kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, dan area penggunaan lain (APL).
"Jenis permainannya meliputi sektor ekonomi, ekologi, sosial, dan hukum. Lalu bagaimana menjaga permainan yang sportif dan cantik? Jawabannya adalah melalui sinergi dan koordinasi," paparnya.
Karena itu ia menilai bahwa kepentingan publik tidak pernah selesai hanya dengan satu lembaga/kementerian melainkan melalui sinergi dan koordinasi lintas sektor pihak-pihak tersebut. Di lain sisi, sinergi dan koordinasi tersebut harus terukur dan terasa dampaknya bagi khalayak.
"Harus ada sinergi dan koordinasi antara Kehutanan, desa, pemerintah daerah, dan lembaga adat sebagai penilaian kinerja kehutanan. Selain itu, koordinasi harus lebih nyata dalam bentuk mekanisme pengarusutamaan dan tata-hubungan kerja yang efektif," kata Agus.
Baca juga: KLHK sebut PIPPIB untuk perbaiki tata kelola hutan dan gambut
Baca juga: Guru Besar IPB bahas tantangan tata kelola hutan
Agus yang juga dosen Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta itu berharap setiap kebijakan melahirkan instrumen yang ia sebut bersifat pemungkin dan penggerak (enabling and mobilising) sebagai upaya pelestarian dan keberlanjutan kehutanan.
"Juga harus ada jaminan mengenai aturan bermain dan sportivitas para pihak yang bertransaksi di bidang kehutanan. Pada gilirannya tata kelola kehutanan harus dihantarkan pada tingkat lapangan secara akuntabel," bebernya.
Idealnya, tata kelola kehutanan yang tersampaikan ke tingkat tapak, kata Agus, harus bisa menjawab tantangan kawasan hutan yang berada di luar areal perizinan dan persetujuan, areal yang tidak berhutan, resolusi konflik tenurial, hutan rakyat, dan penjaminan pengelolaan hutan lestari.
Baca juga: KLHK: Peningkatan tata kelola hutan berbekal kekuatan moral
Agus yang juga dosen Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta itu berharap setiap kebijakan melahirkan instrumen yang ia sebut bersifat pemungkin dan penggerak (enabling and mobilising) sebagai upaya pelestarian dan keberlanjutan kehutanan.
"Juga harus ada jaminan mengenai aturan bermain dan sportivitas para pihak yang bertransaksi di bidang kehutanan. Pada gilirannya tata kelola kehutanan harus dihantarkan pada tingkat lapangan secara akuntabel," bebernya.
Idealnya, tata kelola kehutanan yang tersampaikan ke tingkat tapak, kata Agus, harus bisa menjawab tantangan kawasan hutan yang berada di luar areal perizinan dan persetujuan, areal yang tidak berhutan, resolusi konflik tenurial, hutan rakyat, dan penjaminan pengelolaan hutan lestari.
Baca juga: KLHK: Peningkatan tata kelola hutan berbekal kekuatan moral
Baca juga: Pemerintah diharapkan benahi tata kelola lingkungan
Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023