Tanjungpinang (ANTARA) - Persiapan demi persiapan telah dilakukan pengurus Masjid Sultan Riau untuk menyambut kedatangan Bulan Suci Ramadhan 1444 Hijriah/Tahun 2023 yang tinggal menghitung hari.

Salah satu masjid tua dan bersejarah di Indonesia itu terletak di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pulau Penyengat, merupakan hadiah atau emas kawin pernikahan dari Sultan Mahmud untuk sang istri Engku Putri Raja Hamidah pada Tahun 1805.

Pulau tersebut berada tepat di seberang pusat kota. Jarak tempuhnya sekitar 10 sampai 15 menit menggunakan pompong kayu dengan ongkos Rp9.000 per orang.

Saat ditemui Antara di Pulau Penyengat, Ketua Pengurus Masjid Raya Sultan Riau Raja Al Hafiz mengatakan telah menyiapkan serangkaian agenda dalam rangka menyemarakkan momen Ramadhan tahun ini.

Sepanjang Bulan Ramadhan, masjid itu akan dibuka 24 jam guna memberi ruang dan kesempatan umat Muslim yang mau beriktikaf di masjid. Juga disediakan penginapan gratis bagi mereka yang ingin menginap di areal Masjid Sultan Riau, karena bermalam di situ sama saja dengan berinfak kepada masjid.

Selain itu, seperti biasanya Masjid Sultan Riau juga akan melaksanakan kegiatan berbuka puasa bersama setiap harinya. Aneka juadah atau menu berbuka, yang dihimpun dari sumbangan penduduk sekitar, dihidangkan secara cuma-cuma buat siapapun yang ingin berbuka puasa di masjid tersebut. Ini sekaligus mempertegas tradisi warga Penyengat yang senang bertukar hidangan di masjid maupun dari rumah ke rumah menjelang waktu berbuka tiba.

Kemudian pada malam harinya akan dilaksanakan ibadah Shalat Tarawih berjemaah dan dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Suasana menyambut Ramadhan di pulau berpenduduk sekitar 2.500 orang itu makin semarak dengan adanya pemasangan lampu colok di sudut-sudut kampung oleh pengurus bersama pemuda setempat.

Tak hanya itu, jajaran pengurus masjid juga menggelar pameran kitab-kitab kuno dan mushaf Al Quran sejak 6 Maret 2023 dan direncanakan berlangsung hingga Hari Raya Idul Fitri.

Kegiatan itu sebagai upaya mengenalkan kepada khalayak bahwa di Masjid Sultan Riau terdapat sekitar 400 kitab peninggalan masa lampau. Pameran yang berlokasi di rumah sotoh yang berada di samping kiri dan kanan bangunan masjid itu, terbuka bagi siapa saja yang mau berkunjung, mulai dari pukul 08.30 WIB sampai 16.00 WIB.

Beberapa judul kitab dipajang dalam pameran tahap pertama tersebut, antara lain kitab tafsir dan hadits, mushaf Al Quran, kitab dan sejarah Tarekat Naqsyabandiah, kamus, ensliklopedia, sejarah Islam, perbandingan agama, sastra Arab, dan kitab-kitab ilmu tabib.

Kitab-kitab itulah menjadi bukti sejarah kejayaan Pulau Penyengat yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Melayu Johor-Pahang-Lingga-Riau.


Baru direvitalisasi

Sejak berdiri sekitar Tahun 1832, Masjid Sultan Riau atau dikenal Masjid Raya Penyengat belum pernah direnovasi, sehingga wujud bangunan kokoh bak istana itu bisa dikatakan masih tetap terjaga keasliannya.

Baru kemudian pada Tahun 2022, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) di bawah kepemimpinan Gubernur Ansar Ahmad mengusulkan revitalisasi atau pemugaran masjid tersebut. Tujuannya tak lain untuk mempercantik wajah Masjid Sultan Riau agar makin nyaman dan elok dipandang mata.

Apalagi masjid itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun juga menjadi tujuan wisata sejarah bagi para pengunjung, mulai dari pejabat tinggi negara, wisatawan Nusantara, hingga wisatawan mancanegara yang datang silih berganti.

Proses yang ditempuh pemprov untuk merivitalisasi Masjid Sultan Riau pun tak mudah dan berliku-liku. Diawali dengan meminta dukungan dan persetujuan tokoh serta masyarakat di Pulau Penyengat, lalu menyiapkan detail perencanaan atau DED, hingga bolak-balik mengurus proses izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Situs Cagar Budaya Batusangkar.

Sampai pada tahapan pelaksanaan revitalisasi masjid, semuanya dilakukan atas rekomendasi kajian tim konsultan supaya hasil revitalisasi dapat bertahan. Mengingat lokasi masjid yang berdekatan dengan tepian pantai, maka sangat penting untuk mengetahui spesifikasi dan struktur bangunannya.

Proyek revitalisasi itu juga dipastikan tidak mengubah nilai historis dan heritage bangunan asal masjid tersebut. Terlebih, Masjid Sultan Riau sudah terdaftar menjadi salah satu cagar budaya nasional bersama 16 situs sejarah lainnya di pulau milik Engku Putri itu.

Beberapa pekerjaan yang termasuk dalam paket pekerjaan revitalisasi Masjid Raya Sultan Riau Penyengat Tahun Anggaran 2022, di antaranya pemasangan videotron di depan masjid, perbaikan sarana dan prasarana tempat wudhu dan toilet, pengecatan masjid, pengembangan aksesoris, penataan ruang terbuka hijau, optimalisasi ruang dokumenter, dan perbaikan menara masjid.

Bahkan, khusus karpet dan cat masjid, oleh Gubernur Ansar Ahmad, masing-masing dia pesan langsung dari negara Turki dan Jerman.

Pengerjaan revitalisasi Masjid Sultan Riau Penyengat yang menelan anggaran sekitar Rp5,8 miliar itu diklaim telah rampung. Sekarang tampilan masjid yang didominasi warna kuning itu tampak lebih cerah dan segar. Salah satunya didukung penggantian lampu yang menyesuaikan dengan keadaan bangunan masjid.

Beberapa lantai halaman masjid yang dulunya bertingkat-tingkat juga sudah diratakan supaya mampu menampung lebih banyak jemaah shalat maupun acara-acara hari besar keagamaan di Masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat.

Wisatawan asal Malaysia berfoto di depan Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepri. (Ogen)

Keistimewaan masjid

Dirangkum dari berbagai literatur sejarah, pada awalnya Masjid Sultan Riau hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid itu tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jamaah yang terus bertambah, sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844, berinisiatif memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.

Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M), yang kala itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Panggilan tersebut telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.

Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut, sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 pekan.

Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur, sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.

Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Al Quran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk.

Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul, putera Riau asli Pulau Penyengat, yang diutus oleh Sultan untuk ke Mesir pada Tahun 1867 M.

Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa yang sejak lama terkenal dengan kerajinan ukirnya. Sebenarnya, ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik Lingga.

Di dekat mimbar, Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lainnya, seperti permadani dari Turki dan lampu kristal yang merupakan hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada Tahun 1860-an. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada Tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.

Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Adapun rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.

Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding itu dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu shalat dan berbuka puasa pada Bulan Ramadhan, sedangkan rumah sotoh, bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab, namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama.

Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin, pernah mengajarkan ilmu agama di tempat itu. Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat merupakan masjid pertama di Indonesia.

Pemerintah bersama warga Pulau Penyengat tetap berusaha melestarikan peninggalan sejarah Kerajaan Riau-Lingga di pulau itu. Pelestarian benda-benda cagar budaya di Pulau Penyengat di bawah pengawasan Pemkot Tanjungpinang, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Sumatera Barat dan Balai Arkeologi Medan.

Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat senantiasa menarik perhatian para pengunjung dari berbagai daerah, terutama di Bulan Suci Ramadhan.

Pengunjung dari berbagai daerah Indonesia serta dari mancanegara, terutama dari Singapura dan Malaysia, berdatangan ke masjid itu. Selain untuk melaksanakan shalat, pengunjung juga menikmati keindahan masjid tua itu.

Ada pula pepatah mengatakan pengunjung belum dikatakan sah sampai ke Tanjungpinang, kalau tidak menginjakkan kakinya ke Pulau Penyengat.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023