Jakarta (ANTARA) - Indonesia pernah didiagnosa mengalami gejala apatisme politik cukup signifikan dalam konteks rendahnya partisipasi pemilih pada dua gelaran pemilihan umum (pemilu), seperti yang terjadi di tahun 2009 dan 2014. Dalam dua gelaran pesta demokrasi tersebut, jumlah partisipan yang terserap, masing-masing hanya sebesar 71 persen di tahun 2009 dan 75 persen di tahun 2014. Artinya dua gelaran pemilu itu gagal menyerap partisipasi pemilih yang dalam edisi-edisi sebelumnya selalu di kisaran angka 80 sampai 90 persen.

Rendahnya partisipasi politik masyarakat tidak hanya terlihat dalam pemilu, tapi juga dari minimnya ketertarikan massa dalam menggalang opini terhadap isu populis dan mininya pelibatan diri serta komunitas kohesif dalam diskursus politik. Samuel P. Huntington (1990) dalam karyanya berjudul “No easy choice : participation in developing countries” (Pembangunan Politik di Negara Berkembang), mendefinisikan partisipasi politik, antara lain sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi (private citizen) untuk menunjukkan keragaman cara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Di Indonesia, partisipasi politik mengalami penciutan makna yang asosiatif, yakni sebagai keterlibatan masyarakat dalam pemilu. Padahal partisipasi politik memiliki jangkauan makna yang luas dan dapat diaktualisasikan lewat beragam cara, seperti aksi demonstrasi, diskusi publik tentang kebijakan politik, menggelorakan seruan melalui petisi, dan geliat ekspresi lain yang semacamnya. Hal-hal semacam itu kurang tampak di permukaan maupun di akar rumput. Setidaknya dalam kurun waktu yang meliputi dua pemilu, sebagaimana yang disebutkan di atas.


Gejala apatis


Minimnya keterlibatan dalam ruang lingkup partisipasi politik masyarakat saat itu membuat para pemerhati sosial-politik turut mengutarakan keprihatinannya. Salah satunya datang dari tokoh kenamaan Azyumardi Azra yang memberi stempel tersendiri untuk menggambarkan periode tersebut sebagai masa ”adem ayem”, yakni suatu masa yang tercipta karena adanya kelelahan politik (political fatique) masyarakat yang berujung pada apatisme politik, ditandai dengan sikap masyarakat yang cenderung pasif terhadap isu-isu politik.

Pada fase yang cukup esktrem, perasaan apatis membuat masyarakat malas untuk melangkahkan kaki menuju arena tempat pemungutan suara (TPS) karena dianggap tidak memberi arti apa-apa terhadap kesehariannya, pun terhadap hidupnya. Pada gilirannya perbincangan khalayak tentang isu-isu politik hanyalah bunyi-bunyian kecil dengan jangkauan terbatas di kalangan tertentu.

Sementara di lain sisi, ada pendapat yang menyatakan bahwa publik saat itu telah merasa puas dengan kinerja pemerintah, sehingga hal-hal menyangkut aktivitas dan perbincangan politik tidak riuh sampai di level bawah. Akan tetapi asumsi mengenai indikasi kepuasan relatif publik terhadap pemerintah di tengah temuan data mengenai rendahnya kepercayaan terhadap kinerja birokrasi merupakan paradoks. Selain itu, kepuasan terhadap kinerja pemerintah juga tidak seharusnya membuat masyarakat mengambil jarak (apatis) dari urusan seputar politik, termasuk pemilu.

Tentu sebagian besar pihak menilai kondisi itu sebagai "aib" dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dikatakan aib karena kemunculan sikap apatis masyarakat terhadap politik tidak lain merupakan "persalinan rupa" dari kecenderungan gagalnya para wakil rakyat dan pemerintah dalam menunaikan amanah rakyat. Melihat kondisi semacam itu, sejumlah pihak, mulai dari pemerintah, para pegiat demokrasi dan penyelenggara pemilu, mulai mengupayakan berbagai formulasi agar keterpanggilan dan gairah rakyat terhadap dunia politik Nasional menjadi meningkat.

Rupanya upaya itu tidak memerlukan waktu lama. Sebab dalam beberapa tahun berikutnya (setelah pemilu Tahun 2014) angka partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 meningkat pesat dari yang semula di angka 75 persen, menjadi 81 persen. Raihan ini juga di luar perkiraan KPU yang semula menargetkan angka partisipasi di kisaran 77 persen.


Antusiasme politik


Peningkatan jumlah partisipan pemilih dalam Pemilu 2019 untuk sementara waktu dapat mengikis kekhawatiran sejumlah pihak tentang apatisme yang dapat mengancam proses pendewasaan demokrasi. Pertanyaannya sekarang apakah terdorongnya gairah masyarakat untuk datang ke TPS semata karena berbagai upaya penyadaran dan sosialisasi yang dilakukan antara pemerintah, penyelenggara pemilu dan pihak-pihak terkait lainnya, atau justru ada akar sebab lain?

Bangkitnya gairah masyarakat untuk terlibat aktif di kancah politik belakangan ini normalnya diamini sebagai suatu capaian positif dan perasaan gegap gempita akan masa depan demokrasi Indonesia. Begitulah jika penglihatan kita fokuskan di permukaan atau dalam spektrum cangkang terluar dan memaknai keberhasilan proses demokrasi yang bertolak dari angka partisipasi semata.

Lain halnya jika kita mengarahkan penglihatan secara mendalam, maka peningkatan partisipan tidak lebih dari statistik. Banyaknya jumlah kepala tak menjamin bobotnya. Kenyataannya, masa-masa menjelang dan sesudah pemilu hanya diramaikan oleh narasi tak bermutu. Adanya kapitalisasi terhadap isu-isu keagamaan, konten hoaks, olok-olok, dan ujaran kebencian adalah bunyi-bunyian yang merajai orkestrasi politik di Tahun 2019.


Gejala kritis


Kesemua konten yang meramaikan jagat demokrasi Indonesia kontemporer sama sekali tidak relevan dengan citra pendewasaan demokrasi. Sebaliknya, kondisi politik dan demokrasi Indonesia saat ini justru sedang menapaki fase kritis, yakni suatu fase yang menihilkan pentingnya menempatkan pemilu sebagai ruang ideal bagi pementasan ide serta gagasan antarkontestan.

Kemudian agama yang seharusnya dijadikan sebagai koridor nilai serta alat penyemai persaudaraan, justru dijadikan sebagai tembok pembatas untuk memisahkan, bahkan menyisihkan lawan yang dalam praktiknya dapat dilakukan dengan beragam cara. Politik identitas sebagai corak politik paling mencolok pada Pemilu 2019 juga berusaha untuk terus dipertahankan dan kemungkinan besar dipentaskan kembali pada Pemilu 2024.

Keadaan ini persis seperti yang digambarkan dan diajarkan oleh Niccolo Machiavelli sebagai kondisi yang seharusnya tercipta dalam konteks perebutan kekuasaan. Sang pemikir zaman renaisans yang juga disebut sebagai the teacher of evil ini mengajarkan pentingnya tiap-tiap pihak berkepentingan untuk fokus terhadap kekuasaan sebagai tujuan, sementara lainnya diposisikan sebagai alat, termasuk norma-norma dan agama.

Kata-kata Machiavelli itu nampaknya begitu relevan dengan situasi politik Indonesia saat ini, dimana norma, budaya, dan bahkan agama, tidak ditempatkan sebagai katalisator ikatan persaudaraan. Eksesnya, spirit yang mengemuka hari ini bukanlah spirit kekeluargaan, melainkan semangat untuk saling berhadapan dan kesiapsiagaan untuk mencerca satu sama lain.


Desain politik


Belajar dari apa yang pernah kita alami di masa lalu dan dari dinamika politik Indonesia saat ini, semestinya mendorong berbagai pihak untuk lebih peka dan tanggap terhadap situasi. Fase apatis yang pernah kita lalui di masa lalu harus dimaknai sebagai bagian dari tahap peningkatan pada fase penyadaran kolektif, menuju negara demokrasi yang mapan. Bukan malah menuju negara demokrasi yang gagal, karena sikap kita yang kurang peka terhadap dinamika kontemporer yang bersifat segregatif.

Kita harus berbenah menyusun suatu desain politik yang mengarahkan demokrasi pada jalannya yang ideal, yakni suatu desain yang memungkinkan hidupnya dinamika politik yang menarasikan persatuan. Kita tidak bisa membiarkan arah demokrasi di Indonesia yang berlandaskan kepada nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila, sebagai paham demokrasi yang bersumber dari falsafah hidup yang digali dari kepribadian rakyat Indonesia.

Kita masih memiliki waktu dan harapan, khususnya terhadap partai politik (parpol) sebagai salah satu pilar demokrasi yang paling memiliki kapasitas untuk menciptakan desain politik yang selaras dengan kepribadian bangsa, bisa diwujudkan. Sebab segala hal yang potensial memancing hidupnya narasi politik berbau sara; salah satunya seperti menonjolkan sosok yang rentan dimanipulasi oleh klaim identitas keagamaan sangat bisa diminimalkan atau bahkan bisa dikendalikan oleh itikad baik dari seluruh parpol tanpa kecuali.

Tantangan terbesarnya adalah apakah seluruh parpol punya kerelaan untuk sedikit menanggalkan sikap pragmatis kelompoknya untuk kepentingan yang lebih besar? Kita masih menunggu.

*) Hasan Sadeli adalah Penulis adalah lulusan Magister Ilmu Sejarah UI

Copyright © ANTARA 2023