melasti merupakan kegiatan menyucikan bhuana agung dan bhuana alit.
Denpasar (ANTARA) - Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal dengan ciri khasnya masing-masing. Seperti halnya Bali yang begitu kental dengan tradisi dan budayanya. Pada tahun ini, tepatnya Rabu (22/3) pekan depan, umat Hindu akan merayakan hari suci Nyepi tahun Saka 1945.
Tahun Saka atau Hari Nyepi bagi umat Hindu, identik dengan pelaksanaan Catur Brata Penyepian sebagai sebuah momentum untuk introspeksi atas hal-hal yang telah dilalui selama setahun ke belakang serta memulai kembali kehidupan ke depannya dengan hati yang bersih.
Menjelang Hari Nyepi, dua hingga empat hari sebelumnya, umat Hindu secara serentak akan melakukan ritual penyucian diri dan lingkungannya ke pusat-pusat tirta amerta (air suci) yang dikenal dengan nama upacara melasti.
Melasti merupakan suatu upacara yang dilakukan oleh umat Hindu guna menyucikan atau membersihkan jagat (Bumi), menyucikan bhuana agung (alam semesta) beserta isinya sebelum dilaksanakannya tawur kesanga pada hari Pengerupukan yaitu sehari sebelum Nyepi.
Melasti berasal dari dua kata yaitu mala dan asti. Mala itu artinya kotoran, sedangkan asti memiliki arti membuang. Yang kemudian dapat dijelaskan secara sederhana bahwa melasti itu membuang segala kekotoran agar menjadi bersih dan suci kembali.
Kata melasti juga sering disebut mekiis (melis). Dalam agama Hindu, lambang pembersihan adalah lis yang biasanya digunakan oleh umat Hindu pada saat acara keagamaan untuk melakukan pembersihan. Sehingga dapat diartikan bahwa melis/mekiis/melasti itu merupakan pembersihan atau penyucian.
Secara sastra, yaitu dalam Lontar Sunarigama, upacara melasti dilaksanakan empat atau tiga hari sebelum hari suci Nyepi. Namun ada juga beberapa wilayah yang melaksanakan upacara melasti dua hari sebelum Nyepi.
Menurut seorang pemerhati tradisi dan budaya Bali, I Nyoman Suwija, hal tersebut mungkin saja terjadi karena adanya desa kala patra. Yang dapat dijabarkan bahwa desa itu desa, kala itu waktu, dan patra itu keadaan. Jadi, mungkin saja desa yang bersangkutan memiliki sebuah alasan khusus sehingga tidak memungkinkan melakukan melasti empat atau tiga hari sebelum Nyepi.
Di balik perbedaan waktu upacara melasti tersebut, tujuan utama dari melasti itu tetap sama yakni pembersihan atau penyucian jagat (bumi) menjelang hari suci Nyepi.
Sejatinya, pelaksanaan upacara melasti bertujuan untuk meningkatkan rasa bhakti kepada Tuhan agar senantiasa diberikan kekuatan, menghanyutkan segala penderitaan masyarakat, menghilangkan kotoran yang ada dalam diri, serta kerusakan alam semesta.
“Secara filosofis, melasti merupakan kegiatan menyucikan bhuana agung dan bhuana alit. Termasuk membersihkan dan menyucikan pratima atau yang lainnya yang berada di semua pura. Disucikan ke pusat-pusat tirta amerta suci, yaitu di antaranya ke laut karena laut merupakan sumber tirta amerta,” kata Nyoman Suwija.
Jika diartikan secara sederhana, upacara melasti secara filosofis memiliki arti atau makna yaitu nunas (meminta) tirta amerta, penyucian bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit dalam menyambut tahun baru saka, tepatnya pada tanggal satu sasih kadasa yaitu hari raya Nyepi.
Prosesi upacara melasti
Menggelar upacara keagamaan tentunya terdapat beberapa tahapan di dalamnya.
Proses upacara melasti diawali dengan kegiatan mereresik (membersihkan alam) baik itu di pura maupun di sanggah/merajan (tempat sembahyang di rumah bagi umat Hindu).
Dilanjutkan dengan menghias pratima-pratima yang berada di pura masing-masing banjar agar pada saat diiring menuju tempat pemelastian nampak bersih dan cantik.
Setelah upacara menghias selesai, umat Hindu akan mengiring atau mengusung pratima tersebut ke bale agung (pura desa) yang terdapat pada desa pakraman masing-masing.
Sesuai waktu yang telah disepakati oleh warga desa untuk melakukan melasti, umat Hindu akan berkumpul di Pura Bale Agung. Diawali dengan melakukan persembahyangan bersama, kemudian pratima maupun sesuhunan yang diyakini sebagai istana Tuhan Yang Maha Esa diiring atau diusung menuju pantai/laut/segara untuk melaksanakan upacara melasti.
“Sebelum upacara melasti, pratima (arca) yang terdapat di pura dihias dengan begitu apik agar terlihat lebih cantik dan bagus ketika diring oleh umat Hindu menuju ke pantai untuk melaksanakan upacara mesucian (melasti),” ungkap pemerhati tradisi dan budaya Bali, I Nyoman Suwija.
Tepat pada hari melasti, masyarakat hindu mengusung pratima tersebut ke pantai dan menaruhnya menghadap ke arah laut. Kemudian diikuti oleh umat Hindu duduk di belakang pratima dan menghadap ke arah pantai.
Pratima yang sudah diletakkan menghadap pantai kemudian dipersembahkan sesajen (banten) dengan sebagaimana mestinya yang dipimpin oleh pemangku atau sulinggih.
Seusai menghaturkan sesajen tersebut, dilanjutkan dengan mengambil air laut untuk disucikan yang akan diring ke pura desa masing-masing desa pakraman nantinya.
Upacara menghaturkan sesajen dan nunas tirta di laut telah usai dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan acara persembahyangan bersama. Lalu para pemangku akan menyiratkan (membagikan) air suci untuk diminum sebanyak tiga kali dan memberikan bija (beras yang dibasahi oleh air suci) untuk diletakkan pada dahi setiap umat Hindu yang datang.
Dengan berakhirnya acara nunas tirta dan bija setelah persembahyangan, maka berakhir pula upacara pemelastian yang dilakukan oleh umat Hindu di pantai.
“Biasanya terdapat beberapa perwakilan dari tiap banjar mengusung pratima-pratima yang ada, menyucikan ke pantai/segara dengan menghaturkan sesajen meminta pengelukadan, peleburan, sekaligus nunas (meminta) tirta amerta sanjiwani. Setelah upacara pembersihan dan nunas tirta amerta dilakukan, pratima diiring dan malingga kembali di bale agung,” ungkap Nyoman Suwija yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.
Seusai upacara melasti, biasanya umat Hindu di desa masing-masing datang (medek tangkil) ke Pura Desa (Bale Agung) untuk menghaturkan bhakti meminta penyucian diri.
Dua hari setelah upacara melasti yaitu tepatnya pada hari pengerupukan, pratima yang malingga di Bale Agung diusung kembali ke pura masing-masing banjar oleh umat Hindu.
Prosesi dari melasti itu sendiri merupakan mengiring Ida Bhatara mesucian sekaligus nunas (meminta) tirta amerta ke pantai, dan dilanjutkan dengan menghaturkan sembah bhakti meminta atau memohon pembersihan diri dalam menyambut tahun baru saka yaitu hari raya Nyepi.
Di sisi lain, upacara melasti dianggap sebagai salah satu momen unik menjelang perayaan hari suci Nyepi. Umat hindu beramai-ramai menuju ke pantai dengan mengusung pratima menggunakan pakaian putih yang terlihat begitu elok dipandang.
Ada yang menggunakan transportasi untuk menuju ke pantai dan ada juga yang berjalan kaki dari desanya hingga sampai ke pantai untuk melaksanakan melasti.
Upacara melasti ini menjadi sebuah pemandangan yang begitu menarik bagi wisatawan ketika melihat keramaian dan rasa antusias umat Hindu melakukan ritual tersebut dengan tujuan pemuliaan alam Bali beserta isinya.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023