yang paling saya sesalkan adalah kawasan hutan menjadi tempat wisata yang kebersihannya tidak dijaga
Banda Aceh (ANTARA) - Kalangan rimbawan di Provinsi Aceh menyatakan tantangan konservasi dan penyelamatan hutan semakin berat di tengah persoalan maraknya pembalakan liar yang sepertinya tidak kunjung selesai.

"Tantangan konservasi penyelamatan hutan dan lingkungannya kini semakin berat. Tantang tidak hanya dari diri sendiri tetapi juga faktor lainnya," kata Badrul Irfan, rimbawan, di Banda Aceh, Kamis.

Menurut Badrul, tantang tersebut di antaranya persoalan kerusakan hutan akibat praktik ilegal. Kerusakan hutan telah menyebabkan habitat satwa terganggu. Gangguan tersebut juga menyebabkan sumber makanannya berkurang.

"Inilah yang membuat tugas dan tantangan rimbawan semakin berat. Apalagi risikonya terhadap keselamatan jiwa juga tinggi. Ini terkadang orang berpikir menjadi seorang rimbawan merupakan kegiatan yang mudah," kata Badrul.

Badrul memulai menjadi seorang rimbawan setelah bergabung menjadi mahasiswa pencinta alam di Unit Kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam (UKM PA) Leuser Universitas Syiah Kuala (USK) yang dulu disingkat Unsyiah pada 1992.

Baca juga: Riset Lab 45: Pola pengelolaan sumber daya jadi tantangan ekonomi biru
Baca juga: Pencurian jadi tantangan restorasi kerang hijau di Ancol

Badrul muda saat itu banyak bertualang menjelajahi kawasan hutan dan mendaki gunung. Pada saat itu, menjadi pencinta alam hanya berpikir untuk kepuasan batin dan ketenangan jiwa

Namun, setelah itu Badrul berpikir mengapa tidak bekerja di lembaga lingkungan, bisa bekerja sekaligus bisa memenuhi hobi keluar masuk kawasan hutan.

"Akhirnya, saya bekerja di sebuah lembaga lingkungan pada 1998. Tugasnya, menyelamatkan lingkungan, di antaranya hutan dan ekosistemnya," kata Badrul Irfan menyebutkan.

Menyangkut suka dukanya, kata Badrul, sukanya merasa bahagia dan batin terpuaskan saat berada di kawasan hutan. Apalagi, kawasan hutan tersebut belum terjamah tangan manusia.

Sedangkan dukanya begitu banyak, sebut Badrul, seperti melihat kerusakan hutan oleh penebangan liar, adanya kematian satwa, pemburuan sumber makanan satwa seperti babi dan rusa, maupun hal lainnya.

"Dari sekian duka, yang paling saya sesalkan adalah kawasan hutan menjadi tempat wisata yang kebersihannya tidak dijaga. Begitu juga dengan jalur pendakian yang jadi wisata, banyak sampah," kata Badrul

Baca juga: Tantangan konservasi Wehea-Kelay adalah laju kerusakan
Baca juga: Konservasi di Aceh tetas dan lepaskan 12 ribu tukik dalam 10 tahun


Kini, usia Badrul sudah di kepala lima. Ia pun sudah tidak lagi turun ke lapangan. Pekerjaan konservasi lebih berkutik pada regulasi seperti menelaah perizinan yang diberikan pada kawasan yang bersentuhan dengan hutan.

"Apa yang saya lakukan juga bagian dari konservasi, walau tidak lagi langsung turun ke rimba. Penyelesaian masalah perizinan dalam kawasan hutan juga memiliki tantangan tersendiri," kata Badrul Irfan.

Kendati sudah jarang keluar masuk rimba, Badrul Irfan juga banyak mengajak orang menjadi rimbawan, menjaga alam dan lingkungannya. Semakin banyak orang menjadi rimbawan, maka semakin banyak pula orang yang menjaga lingkungan.

"Menjadi rimbawan itu panggilan hati dan kini menjadi profesi. Bekerja sekaligus menyelamatkan hutan dan lingkungan yang diwariskan kepada generasi mendatang," kata Badrul Irfan.

Baca juga: 143 ekor tukik dilepasliarkan di areal konservasi Penyu Aruen Meubanja

Baca juga: YKAN: Praktik pengelolaan hutan lestari tingkatkan populasi orang utan

Baca juga: KLHK sebut lahan basah punya peran memitigasi perubahan iklim

Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023