"Yang perlu dipahami adalah mekanismenya, dalam hal ini ketentuannya, itu sebenarnya sudah diberitahukan secara jelas bagaimana ketentuan COD, dan perlu digaungkan jadi enggak bisa sekali. Jadi edukasi-edukasi itu harus terus dilakukan," ujar Bima dalam bincang media "E-Commerce Update 2023" di Jakarta, Kamis.
Bima mengatakan metode pembayaran COD sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi para pembeli yang tidak memiliki akun perbankan ataupun uang digital, terlebih bagi konsumen yang berada di kota kecil.
Lebih lanjut, katanya dalam metode COD pembeli harus membayar belanjaan, setelah itu diperkenankan untuk membuka paketnya dan bukan sebaliknya. Apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan keterangan penjual, maka pembeli/konsumen dapat mengajukan protes atau komplain ke penjual, bukan kepada kurir pengantar barang.
Menurut Bima, masih banyak konsumen yang belum paham dengan ketentuan COD sehingga kurir kerap menjadi sasaran protes.
"Logistik (kurir) itu bukan yang punya barang. Orang mikirnya yang nganter barang adalah yang punya barang. Kalau ada ketidaksesuaian harus menggunakan fitur yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adalah komplain dan akan benaran dijalani (tindaklanjuti) kok sesuai prosedur," kata Bima.
Bima mengatakan, metode COD tidak bisa dihilangkan begitu saja. Menurutnya, dari 1.000 transaksi, kasus komplain terhadap kurir hanya sekitar satu sampai dua saja.
"Masyarakat yang ingin membeli barang tapi belum memahami ketentuan COD, kalau ada yang marah, itu dilihat ada berapa transaksi yang terjadi kejadian seperti itu. Itu yang harus kita lihat, dari 1.000 transaksi ada berapa yang bermasalah satu atau dua? Semuanya tentu ada garisnya," ujarnya.
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023