Food waste akan sangat menyakiti kerja keras petani selama menghasilkan pangan
JAKARTA (ANTARA) - Masyarakat Indonesia masuk tiga besar dunia dalam hal persampahan makanan. Setiap orang telah membuang makanan sisa hingga 150 kg per tahun. Padahal ada begitu banyak warga miskin yang belum mampu memenuhi kebutuhan pangan harian mereka secara layak.
Sementara, pemerintah kadang masih mengimpor beras dari negara lain demi memenuhi kebutuhan konsumsi nasi yang amat tinggi.
Negara berpenduduk sekitar 276 juta jiwa ini menghasilkan sampah makanan 20,93 juta ton setiap tahun. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi di Asia Tenggara dan ketiga di dunia sebagai negara penyampah makanan, setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat. Nilai kerugian akibat makanan yang terbuang sia-sia diperkirakan mencapai lebih dari Rp300 triliun.
Data jumlah sampah makanan tersebut dikutip dari Program Lingkungan PBB (UNEP) yang diperbarui pada 2021. Sementara, pada tahun yang sama, data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mengumpulkan angka yang jauh lebih tinggi hingga 46,35 juta ton sampah makanan.
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sampah sisa makanan secara konsisten (dari tahun ke tahun) menempati porsi terbanyak yakni hampir 30 persen dari keseluruhan jumlah sampah di Indonesia.
Sampah makanan tidak hanya menjadi isu lingkungan tapi juga masalah ekonomi dan sosial. Dari sisi lingkungan, sampah makanan menimbulkan emisi gas rumah kaca yang sebagian besar menghasilkan gas metana. Kerugian ekonomi yang besar pasti terjadi akibat terbuangnya makanan sepanjang rantai produksi hingga konsumsi. Apalagi ditilik dari aspek sosial, ketika jumlah warga miskin yang melebihi 26 juta orang masih kesulitan dalam memperoleh makanan layak.
Yang tersakiti
Perilaku membuang makanan secara sia-sia, bagaimanapun, dapat menyakiti banyak pihak. Ada jerih payah para petani yang tidak dihargai, juga melukai warga miskin yang kekurangan makanan. Belum lagi bila bicara dalam konteks ketahanan pangan. Pemerintah berikut segenap jajarannya terus berjuang dalam mewujudkan ketahanan pangan dan mencegah terjadinya krisis maupun kelangkaan bahan pangan.
Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi, Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nyoto Suwignyo amat menyayangkan keterbuangan makanan yang menurutnya menyakiti petani.
“Food waste akan sangat menyakiti kerja keras petani selama menghasilkan pangan,” ujar dia.
Hasil penelitian Bapanas menyebutkan jumlah makanan terbuang mencapai 150 kg per kapita/tahun. Menurut Suwignyo, angka itu sangat fantastis ketika dikalikan jumlah total penduduk Indonesia dan lalu dikonversi ke dalam rupiah.
Besarnya jumlah sampah makanan, kata dia, berpotensi besar mengganggu ketersediaan pangan nasional.
Hal yang kurang lebih sama disampaikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahwa sampah makanan dapat memperparah ancaman krisis pangan, selain perubahan iklim dan perang yang menghambat rantai pasok.
Terdapat dua istilah dalam bahasan sampah makanan, yakni food loss dan food waste. Food loss adalah hilangnya bahan makanan pada rantai pasok, karena rusak sebelum sampai ke konsumen. Kerusakan bisa terjadi dalam perjalanan distribusi, atau tanaman rusak akibat gagal panen, sedangkan food waste mengacu pada perilaku konsumen yang tidak menghabiskan makanan dan berakhir ke tempat sampah.
Mentan Syahrul mengutip hasil kajian Badan Pangan Dunia (FAO), yang menunjukkan sepertiga bahan pangan yang diproduksi dunia, terbuang dan menjadi sampah.
Pada saat yang bersamaan kebutuhan bahan pangan terus meningkat seiring bertambahnya penduduk. Padahal penduduk yang sekarang ada saja, belum semuanya mampu mencukupi kebutuhan pangannya. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pada akhir 2022 terdapat 17 juta penduduk Indonesia menderita kelaparan, yang sekaligus menjadi angka kurang gizi dan gizi buruk. Lantas apakah perilaku membuang-buang makanan seperti itu tidak menyakiti mereka?
Mengurangi dosa.
Mengingat banyaknya jumlah penduduk miskin dan tingginya angka kelaparan, tentu berdosa bila masih ada orang yang memboroskan makanan dan membuang yang tersisa.
Bapanas bekerja sama dengan pegiat pencegahan food waste telah menggalakkan proses pembudayaan, pemberdayaan, dan sekaligus mengingatkan kembali kepada seluruh masyarakat di Indonesia agar tidak melakukan pemborosan makanan.
Di kalangan industri rumah makan, upaya pencegahan sampah makanan juga dilakukan. Seperti di restoran berkonsep makan sepuasnya yang mengenakan tambahan bayar untuk setiap makanan tersisa atau tidak dihabiskan oleh pengunjung. Cara itu rupanya lumayan membuat tamu restoran berpikir dua kali untuk mengambil makanan berlebihan yang berujung mubazir karena tidak sanggup menghabiskannya.
Sementara dari perorangan atau secara individu, apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dosa akibat makan berlebih dan menyampah pada akhirnya?
1. Secukupnya
Belanja bahan pangan terencana dan secukupnya. Ketika pergi berbelanja ke pasar tradisional atau moderen, siapkan daftar belanjaan dan belilah sesuai rencana dan dalam jumlah cukup. Cukup dalam artian telah menghitung jumlah anggota keluarga (atau tamu) yang akan makan di rumah. Hindari kalap dengan membeli apa saja yang tampak menggoda namun sesampai di rumah tidak tahu akan dimasak apa atau tidak memiliki cukup waktu untuk memasaknya, kemudian bahan makanan itu menginap berminggu-minggu di dalam lemari pendingin dan ujung-ujungnya dibuang karena sudah tidak layak konsumsi. Begitupun ketika memasak makanan, masaklah dalam jumlah yang sekiranya cukup dan tidak banyak berlebih.
2. Porsi disesuaikan
Ketika makan di luar, baik di warung atau di restoran mintalah porsi yang sesuai dengan kemampuan makan anda atau daya tampung lambung. Pastikan makanan yang terhidang akan dihabiskan. Bila porsi makan anda sedikit namun tidak diperbolehkan minta separuh porsi, misalnya, bayarlah makanan itu seharga satu porsi namun anda ambil makanan setengahnya/secukupnya untuk menghindari makanan tersisa.
3. Sedekah
Tidak ada larangan anda makan mewah di restoran tapi pikirkanlah juga bahwa masih banyak orang di luaran sana yang mungkin belum makan dan kesulitan untuk memperoleh makanan karena keterbatasan uang yang mereka miliki. Maka untuk mengurangi “rasa bersalah”, sisihkanlah sekira 10 persen dari nilai tagihan restoran yang anda makan hari itu, lalu berikan kepada duafa yang anda jumpai dalam perjalanan pulang.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023