"Intinya buffer zone sangat diperlukan. Karena potensi bahaya (di TBBM dan kilang) pasti ada, mulai dari bahaya ringan hingga bahaya yang tinggi risikonya. Dan jika terjadi ledakan, diharapkan efek ledakan hanya sampai buffer zone, tidak sampai ke penduduk,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Wakil Dekan Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem (FT-IRS) ITS ini menerangkan, bahaya ringan bisa bersumber dari kebocoran BBM dalam jumlah kecil yang kemudian menyebar (terdispersi).
Namun, lanjutnnya, bahaya kecil tersebut bisa menjadi risiko sedang dan besar jika kebocoran cukup banyak sehingga menyebar ke wilayah yang cukup luas.
Juwari menjelaskan penyebaran minyak akan menjadi penyebab kebakaran jika sudah mencapai komposisi yang mudah terbakar dan ada pemantik antara lain motor yang lalu lalang.
Bahkan, jika sudah masuk wilayah perumahan, sumber pemantik akan semakin banyak, seperti kompor di dapur atau warung-warung, tambahny, di sinilah antara lain pentingnya buffer zone.
"Jika terdapat buffer zone tentu diharapkan akan memiliki waktu yang cukup sebelum mencapai perumahan. Karena biasanya terdapat warning berupa sinyal dari sensor flammable cloud yang berbunyi,” katanya.
Juwari menambahkan, kebakaran bisa menjadi penyebab ledakan jika mencapai tangki timbun. Ledakan tersebut bisa merusak pagar jika kekuatan pagar lebih rendah dari kekuatan ledakan.
Dengan adanya buffer zone inilah, menurut dia, diharapkan efek ledakan hanya sampai area penyangga dan tidak berdampak ke penduduk.
Terkait luasan buffer zone yang optimal, Juwari menyatakan saat ini sudah terdapat software yang bisa memprediksi luasan area penyangga. Piranti lunak tersebut akan mensimulasikan seberapa luas area terdampak jika berada pada kondisi terburuk (ledakan tangki).
Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023