Samarinda, (ANTARA News) - Pencemaran akibat limbah batu bara dalam skala luas kini mengancam Kota Samarinda, mengingat di daerah itu kini terdapat sejumlah perusahaan memegang 33 kuasa pertambangan, padahal baru beberapa perusahaan yang beroperasi ternyata telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Hal itu diungkapkan puluhan mahasiswa dari PMII Samarinda saat melakukan aksi unjukrasa di depan Kantor Walikota menuntut pencabutan 33 kuasa pertambangan (KP) di Samarinda, Rabu (24/5). Mahasiswa menilai bahwa keberadaan sejumlah perusahaan dari 33 yang memegang KP selama ini bukannya memberikan kontribusi kepada masyarakat Samarinda namun justru hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana pencemaran. "Ironisnya, Pemkot terkesan berpihak kepada para pengusaha. Terbukti dalam beberapa kasus pencemaran serta kerusakan lingkungan, seakan menguap begitu saja tanpa dituntaskan," kata Koordinator pengunjukrasa, Faisal. "Pemkot Samarinda dalam pemberian ijin pertambangan kepada pengusaha begitu mudah tanpa memikirkan dampak kerusakan lingkungan, bahkan sangat lemah dalam pengawasan sehingga banyak terjadi pencemaran dan pengrusakan lingkungan," katanya. Mahasiswa menilai bahwa Kota Samarinda kini terancam pencemaran lingkungan dalam skala luas karena banyaknya perusahaan memegang KP, sementara kontrol dari Pemkot dianggap begitu lemah. Apalagi, kata mahasiswa, kota itu yang termasuk salah satu daerah paling kecil di Kaltim ketimbang 12 kabupaten dan kota lainnya --hanya 718 Km2--- serta memiliki penduduk yang padat, yakni sekitar 600.000 jiwa. "Kita tahu bahwa ketimbang sektor lain, maka pertambangan batu bara adalah bidang sangat rawan terjadi masalah lingkungan hidup, mulai dari pencemaran udara, air dan tanah, terbukti seperti dikeluhkan warga Lempake yang tanaman dan ternaknya banyak yang mati," ujar Faisal. Secara khusus, mahasiswa menyoroti kinerja salah satu perusahaan batu bara, yakni PT. Samarinda Prima Coal (SPC) yang tidak saja diduga banyak menimbulkan kerusakan lingkungan namun juga merusak jalan pemerintah karena dimanfaatkan untuk membawa produksi "fosil minyak" itu dengan alat berat atau melebihi tonase sesuai standar jalan umum. "PT. SCP selama ini tanpa bersalah dan seenaknya menggunakan jalan milik pemerintah, yaitu jalan menuju Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di Kecamatan Palaran sehingga mengalami kerusakan dan dikeluhkan masyarakat sekitar," katanya. Kebijakan Keliru Mahasiswa menilai bahwa PT. SPC berkali-kali membuat kasus dalam rusaknya jalan pemerintah, termasuk jalan menuju TPA Palaran namun anehnya Pemkot seperti menutup mata terhadap kasus itu. "Buktinya, sampai kini penanganan kasus itu seperti menguap begitu saja," kata Faisal. Mahasiswa juga menyesalkan pernyataan Walikota Samarinda, Achmad Amin yang menyatakan bahwa perusahaan segera memperbaikinya dengan menggunakan dana pengembangan kemasyarakatan (community development). "Kebijakan itu samasekali tidak tepat atau keliru karena jalan dibangun menggunakan dana APBD, maka apabila perusahaan yang merusaknya, maka sifatnya adalah ganti rugi, baik berupa uang cash atau diperbaiki langsung oleh perusahaan," katanya. Mahasiswa menilai bahwa perusahaan wajib menjalankan program Comdev karena termasuk dalam perjanjian kerja saat mendapatkan KP. "Jadi kami menilai Pemkot memang berpihak kepada perusahaan ketimbang masyarakat kecil, buktinya dengan gampang dana Comdev dialihkan untuk membangun jalan yang dirusak perusahaan," katanya. Selain itu, katanya, masyarakat menuding bahwa PT. SPC telah mencaplok tanah milik warga Palaran, digunakan untuk kegiatan pertambangan tanpa melalui ijin pemilik lahan, dan menejemen menggunakan preman untuk menguasai lahan masyarakat tersebut. Aksi Puluhan pengunjukrasa tersebut di Balaikota Samarinda dijaga ketat oleh Satpol PP dan aparat kepolisian Samarinda. Setelah satu jam melakukan orasi secara bergantian, mereka meminta pejabat teras bisa menemui mereka untuk membicarakan masalah pencemaran itu. Wakil Walikota Samarinda, Syarie Ja`ang menyatakan siap melakukan dialog namun hanya dengan enam mahasiswa untuk mewakili puluhan teman lainnya di ruang kerjanya. Permintaan wakil walikota tersebut ditolak mereka dan menginginkan agar berdialog langsung dengan puluhan mahasiswa PMII. Mahasiswa mengaku kecewa dengan keputusan wakil wakilota, dan menilai bahwa indikasi Pemkot berpihak kepada pengusaha batu bara memang kian terbukti dengan sikap tidak mau berdialog langsung itu. Sebelumnya, puluhan mahasiswa bersama masyarakat Lempake Samarinda Utara belum lama ini juga memprotes pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan batu bara PT. HCM (Harita Citra Mineral) di Lempake karena perusahaan itu dituding melakukan pencemaran. Masyarakat mengeluhkan tentang banyaknya ikan di tambak, ternak (babi dan sapi) serta tanaman mereka yang mati diduga akibat limbah dari perusahaan. Kasus ini masih belum tuntas karena hasil penelitian oleh tim dibentuk Pemkot berbeda dengan tim independen dari Universitas Mulawarman. Pihak Tim Pemkot menyatakan tidak terjadi pencemaran sementara dari Universitas Mulawarman menyatakan hal sebaliknya. (*)
Copyright © ANTARA 2006